Oleh: Irman Gusman (Anggota DPD RI dari Sumbar (204-2029), Mantan Ketua DPD RI (2009-2016)
KETIKA kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengguncang dunia, apa yang sebaiknya dilakukan Indonesia? Untuk menjawabnya, kita perlu mencermati dinamika global yang semakin tak menentu.
Institusi global yang selama ini menopang tatanan dunia berbasis aturan (rules-based global order) kini melemah. Ketika lembaga internasional tidak lagi efektif dan ketidakpastian meningkat, negara-negara cenderung mengutamakan kepentingan nasional masing-masing. Persaingan antar-kekuatan dunia kian tajam, membuat definisi “kawan” dan “lawan” menjadi kabur. Fokus utama setiap negara kini adalah memperkuat ketahanan domestik.
Trump dengan kebijakan America First memicu gelombang serupa. Presiden Xi Jinping membalas dengan China First. Fenomena ini memperlihatkan satu pola: setiap negara kini mengutamakan “My Country First”.
Bagi Indonesia, langkah serupa bukanlah hal baru. Pada era Presiden Soeharto, semangat Indonesia First sudah terlihat, salah satunya melalui pembentukan Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri di Kabinet Pembangunan IV (1983–1988).
Konsep Trisakti Bung Karno
Jauh sebelumnya, Presiden Soekarno telah mengusung konsep Trisakti: “berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.” Namun, seiring waktu, komitmen itu kerap terabaikan. Akibatnya, setiap kali terjadi gejolak global, stabilitas perekonomian nasional ikut terguncang.
Sementara Indonesia melupakan penguatan pasar dalam negeri, Malaysia pada 1990 membentuk Kementerian Perdagangan Dalam Negeri guna memperkuat rantai pasok dan menurunkan biaya logistik. Hasilnya, harga barang kebutuhan pokok di Malaysia lebih terjangkau dibandingkan Indonesia. Australia juga mengambil langkah strategis dengan membentuk Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan pada 1987, menggabungkan diplomasi politik dengan promosi produk ekspor. Strategi itu kini dilanjutkan oleh Menlu Australia Penny Wong.
Indonesia sejatinya memiliki fondasi untuk meningkatkan kualitas produk nasional dan memperbesar pasar domestik maupun ekspor. Namun, eksekusinya kerap tersendat. Seperti kata pendiri Kompas, Jakob Oetama (alm.), “Orang Indonesia kalau sudah membuat rencana, disangkanya bahwa rencana itu sudah tercapai.”
Sebagai langkah konkret, Indonesia perlu memperkuat kembali fungsi Kementerian Perdagangan menjadi Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, sekaligus memperluas mandat Kementerian Luar Negeri menjadi Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Internasional.
Potensi Jadi Pasar Domestik
Dengan jumlah penduduk hampir 300 juta jiwa, Indonesia memiliki potensi menjadi pasar domestik yang kuat. Pembenahan rantai pasok dan pengurangan biaya logistik yang saat ini mencapai 14,29% dari PDB — jauh di atas rata-rata negara maju 8–10% — akan meningkatkan daya saing produk nasional.
Selain itu, diplomasi luar negeri harus diarahkan untuk membuka pasar baru, dengan memanfaatkan diplomat sebagai entrepreneurial diplomats. Strategi ini akan memperbesar peluang produk Indonesia menembus pasar global.
Di bidang ekonomi, implementasi Pasal 33 UUD 1945 perlu diprioritaskan untuk membangun ekonomi berbasis usaha bersama dan prinsip kekeluargaan. UMKM dan koperasi — yang berjumlah lebih dari 65 juta unit dan berkontribusi besar terhadap PDB serta penyerapan tenaga kerja — harus diberdayakan agar mandiri, bankable, dan mampu naik kelas.
Namun untuk itu, diperlukan ekosistem yang mendukung lahirnya para entrepreneur. Indonesia masih tertinggal dalam indeks kewirausahaan dunia, berada di peringkat ke-75 dalam Global Entrepreneurship Index (GEI). Rasio wirausaha nasional pun baru mencapai sekitar 3,18% hingga 3,47%, sementara target menuju negara maju minimal membutuhkan rasio 4%.
Peningkatan kualitas produk juga mendesak. Hilirisasi industri dan riset berbasis inovasi harus didorong untuk menciptakan produk unggulan dan memperbanyak hak paten nasional. Saat ini, Indonesia baru memiliki sekitar 9.970 paten, tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain di level ekonomi menengah.
Dalam World Competitiveness Ranking (WCRI) 2024, Indonesia berada di posisi ke-27 dari 67 negara, melampaui Jepang (38) dan Inggris (28), tetapi masih di bawah Singapura (1) dan Thailand (25). Ini menunjukkan ada ruang besar untuk perbaikan.
Indonesia juga perlu kembali pada jati dirinya sebagai negara maritim. Pemanfaatan sumber daya kelautan secara optimal akan menjadi kunci kemakmuran rakyat, mengingat potensi sumber daya alam yang melimpah.
Transformasi menuju negara industri modern memerlukan budaya kewirausahaan, disiplin tinggi, serta penerapan merit system secara konsisten. Seperti Korea Selatan yang berhasil membangun kedisiplinan dan inovasi industri, atau Tiongkok yang sejak era Deng Xiaoping berinvestasi besar pada sumber daya manusia.
Peluang Lakukan Quantum Leap
Indonesia memiliki peluang besar untuk melakukan quantum leap di era pemerintahan Presiden Prabowo. Namun, ini membutuhkan jajaran menteri yang mampu menerjemahkan visi besar ke dalam program konkret. Institusi seperti Department of Commerce (DOGE) di Amerika bisa dijadikan rujukan untuk efisiensi dan efektivitas birokrasi.
Kita juga perlu membangun pusat-pusat pertumbuhan baru di luar Jakarta, sehingga pemerataan ekonomi bisa tercapai, dan urbanisasi berlebihan dapat dikurangi. Negara seperti Amerika menunjukkan bahwa pusat-pusat kekayaan dan bisnis tidak harus terpusat di ibu kota negara.
Ke depan, tren knowledge-based economy akan menggeser ketergantungan terhadap sumber daya alam. Untuk itu, Indonesia harus mengembangkan teknologi dan mengoptimalkan kapasitas sumber daya manusia.
Semua upaya tersebut membutuhkan kepemimpinan manajerial yang kuat. Pemimpin hanya sebaik orang-orang yang ia pilih, motivasi, dan berdayakan. Tanpa tim yang tepat, visi sebesar apa pun hanya akan menjadi wacana.
Kini saatnya kita membangun Indonesia Emas — bukan terjebak dalam Indonesia Cemas. ***