JAKARTA, REPORTER.ID – Komunitas Utan Kayu kembali menjadi ruang perjumpaan gagasan ketika diskusi bertajuk “Jejak Sains dalam Puisi” digelar, Sabtu (20/9/2025). Acara menghadirkan novelis dan esais Ayu Utami serta penyair sekaligus pengamat sastra Esha Tegar Putra yang membedah dua buku puisi terbaru, yakni Sehelai Bulu Kosmos karya Alpha Hambali dan Alelopati karya Stebby Julionatan.
Dalam pengantarnya, Ayu Utami menegaskan bahwa puisi dan sains tidak perlu dipertentangkan. “Sejarah sastra Indonesia sudah mengenal perjumpaan ini. Subagio Sastrowardoyo, misalnya, menulis tentang bulan di era Perang Dingin. Politik dan sains bisa menjadi latar yang menyalakan inspirasi puitik,” ujar Ayu.
Esha Tegar kemudian membandingkan jalur estetik kedua buku. Menurutnya, Sehelai Bulu Kosmos mengolah tubuh hingga melebur ke jagat raya, sementara Alelopati menghadirkan tubuh konkret, intim, bahkan marginal.
“Alpha bergerak ke kosmos, sementara Stebby menjejak ke bumi. Alpha mendekonstruksi tubuh, sedangkan Stebby menubuhkan pengalaman sosial,” jelas Esha.
Suasana diskusi semakin hidup dengan kehadiran sejumlah penulis dan pegiat budaya, di antaranya Debra H. Yatim, Danny Yatim, Pratiwi Juliani, dan Deasy Tirayoh. Dua murid Stebby dari SMA Asisi, Olin dan Fezel, turut membacakan puisi. Olin membawakan Sehelai Bulu Kosmos, sedangkan Fezel membaca puisi Meja Makan karya Stebby.
Pertanyaan kritis dari keduanya membuka percakapan baru—mulai dari simbol bulu dalam kosmos hingga isu tubuh marginal dalam pengalaman sosial.
Menurut Esha, kekuatan dua buku ini justru terletak pada perbedaan jalurnya. Alpha mengajak pembaca melampaui batas tubuh menuju kosmos yang cair dan asing, sedangkan Stebby menghadirkan kritik sosial, spiritual, hingga fenomena keseharian yang dekat dengan generasi muda. Dari kupu-kupu sebagai alamat buruk hingga gim Mobile Legend dan marketplace Tokopedia, puisi Stebby menabrak batas konvensional bahasa puitik.
Menutup diskusi, Ayu Utami menegaskan bahwa puisi senantiasa mencari ruang hidup baru. “Pertanyaan dari murid, tafsir kritis dari pengulas, hingga jawaban penyair semuanya menunjukkan bahwa puisi tidak pernah diam. Ia senantiasa bergerak, mencari pembacanya,” katanya.
Diskusi Jejak Sains dalam Puisi tak hanya membicarakan dua buku, tetapi juga menawarkan cara pandang baru terhadap sastra hari ini bahwa puisi bisa bersinggungan dengan sains, tubuh, politik, maupun spiritualitas, dan tetap menemukan resonansinya di tubuh pembaca lintas generasi. ***