Soeharto Layak Diberi Gelar Pahlawan Nasional

oleh
oleh

Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si (net)

 

Oleh : Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si

 

“Soeharto bukan dewa, tapi jasanya fundamental bagi bangsa ini.” Sudah saatnya bangsa ini menilai sejarah dengan kepala dingin, bukan dengan dendam politik. Mantan Presiden Soeharto adalah tokoh yang tidak dapat dihapus dari perjalanan bangsa.

Ia bukan tanpa kekurangan, tetapi jejak pembangunannya telah menegakkan fondasi ekonomi dan pemerintahan yang masih kita rasakan hingga kini. Bagi saya, gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto bukan sekadar penghargaan, melainkan pengakuan atas peran strategisnya dalam membangun Indonesia dari keterpurukan menjadi negara berkembang dengan struktur ekonomi yang kokoh.

Bukan Retorika

Bung Karno adalah bapak bangsa dan peletak dasar ideologi, namun Soeharto adalah arsitek pembangunan nasional. Ia berani melakukan switch besar dari retorika ideologi menuju program pembangunan yang realistis dan terukur. Cita-cita Indonesia adil dan makmur tidak mungkin dicapai tanpa pembangunan ekonomi yang nyata.

Soeharto memahami hal itu dengan baik. Ia menata pemerintahan yang stabil, memperkuat birokrasi, dan menjadikan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama. Karena itulah, beliau layak dijuluki “Bapak Pembangunan”, bukan sekadar oleh Golkar, tapi oleh bangsa Indonesia yang pernah merasakan kestabilan hidup di masa kepemimpinannya.

Warisan Ekonomi yang Masih Bertahan

Tiga prinsip utama pembangunan era Orde Baru — pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas — adalah fondasi ekonomi yang masih digunakan hingga hari ini. Soeharto memahami keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan pembangunan manusia. Tak heran jika pemimpin dunia seperti Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew pernah menyebut Soeharto sebagai guru pembangunan Asia Tenggara.

Krisis moneter 1998 bukan disebabkan oleh kegagalan ekonomi Orde Baru, melainkan karena guncangan eksternal dan euforia politik dalam negeri yang tidak mampu dikendalikan. Pasca-reformasi, arah pembangunan kita justru mengalami setback. Kita terlalu sibuk dengan politik, lupa bahwa roda pembangunan tidak boleh berhenti hanya karena perubahan rezim.

Dari Petani ke Bapak Pembangunan

Soeharto lahir dari keluarga petani di Kemusuk, Yogyakarta. Kedekatannya dengan tanah dan rakyat membuatnya memahami arti kemandirian pangan. Keberhasilan swasembada beras menjadi bukti konkret bahwa Soeharto memandang pertanian bukan sekadar sektor ekonomi, melainkan simbol kedaulatan bangsa. Melalui kawasan Tapos, ia menjadikan pertanian sebagai laboratorium kecil kemandirian.

Namun visi Soeharto tidak berhenti di sawah. Melalui Repelita VI, ia membuka babak baru teknologi bangsa. Dengan menggandeng BJ Habibie, Indonesia mampu membuat pesawat sendiri, mengirim ribuan mahasiswa ke luar negeri, dan membangun industri strategis melalui BPPT. Semua itu adalah bagian dari visi Soeharto yang utuh dan menyeluruh: membangun bangsa dari akar hingga angkasa.

Mengapa Gelar Pahlawan Nasional Belum Diberikan?

Sampai hari ini, alasan Soeharto belum ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional masih diliputi bayang-bayang politik masa lalu. Pasca-1998, muncul TAP MPR yang mengaitkan beliau dengan tuduhan KKN. Namun kini, TAP tersebut sudah tidak relevan lagi. Bahkan MPR telah menyatakan bahwa Soeharto telah menjalani seluruh proses hukum yang memungkinkan sebelum wafatnya. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan hukum yang menghalangi pemberian gelar tersebut.

KKN bukan dosa personal Soeharto. Faktanya, praktik korupsi di masa kini justru jauh lebih sistematis dan terstruktur. Krisis ekonomi 1998 juga tidak murni akibat korupsi, melainkan manipulasi ekonomi global yang memanfaatkan gejolak politik dalam negeri. Nilai tukar rupiah melonjak lebih dari 400 persen, bukan karena salah urus semata, tetapi karena Indonesia kehilangan stabilitas politik.

Reformasi dan Emosi Politik

Reformasi 1998 memang membawa semangat perubahan, tetapi juga diwarnai pemboncengan politik dan dendam sejarah. Banyak keputusan diambil secara emosional, dengan semangat “hapus semua warisan Orde Baru”. Padahal, tidak semua yang lahir dari Orde Baru harus dimusnahkan.

Kita lupa bahwa di masa Soeharto, keamanan, ekonomi, dan birokrasi berjalan dalam kepastian. Masyarakat hidup dalam tatanan yang relatif tertib dan produktif. Kini, di tengah kebebasan demokrasi yang tidak terkendali, kita justru kehilangan figur panutan dan arah kebangsaan yang jelas.

Nepotisme dan Meritokrasi

Soeharto sering dituding menjalankan nepotisme. Namun saya berpandangan, selama seseorang memiliki kapasitas, integritas, dan memenuhi merit system, maka itu bukan nepotisme. Banyak negara besar memiliki dinasti politik yang sah secara meritokratis: keluarga Bush di Amerika, Gandhi di India, Bhutto di Pakistan. Bahkan Tutut Soeharto baru menjadi menteri pada 1998 — hanya tiga bulan sebelum Soeharto lengser. Sulit disebut sebagai dinasti kekuasaan jika melihat fakta sejarahnya secara jernih.

Demokrasi yang Kebablasan

Kabinet Soeharto diisi oleh tokoh-tokoh dengan kapasitas tinggi dan disiplin profesional: Emil Salim, Radius Prawiro, Ali Wardhana, BJ Habibie, dan lainnya. Itulah kabinet zaken, kabinet yang meritokratis dan berorientasi pada hasil. Sebaliknya, era pascareformasi diwarnai oleh sistem politik transaksional. Kabinet disusun berdasarkan kompromi partai dan kepentingan koalisi.

Demokrasi langsung yang kita banggakan kini cenderung berubah menjadi demokrasi uang — ruang dominasi oligarki dan pragmatisme politik. Demokrasi tanpa moral berubah menjadi arena pertarungan bebas. Inilah yang membedakan era Soeharto dengan kondisi sekarang.

Jasanya Tak Tergantikan

Saya tidak menutup mata bahwa Soeharto bukan tanpa cela. Namun sebagai bangsa, kita harus mampu menilai secara objektif dan proporsional. Kesalahan tidak boleh menghapus jasa, dan kritik tidak boleh menutupi fakta sejarah. Soeharto telah meletakkan fondasi ekonomi, pemerintahan, dan generasi bangsa. Ia membangun dari bawah dengan arah yang jelas dan hasil yang nyata.

Maka bagi saya, sudah sewajarnya beliau diberi gelar Pahlawan Nasional — bukan karena nostalgia, tapi karena pengakuan terhadap karya besar dalam membangun bangsa ini. Warisan pembangunan Soeharto masih menjadi pondasi yang menopang Indonesia hingga hari ini.

Tanpa struktur yang dibangun di era Orde Baru — dari Repelita, swasembada pangan, KB, SD Inpres, hingga industri strategis — Indonesia tidak akan memiliki pijakan ekonomi yang stabil seperti sekarang.

Pahlawan sejati bukan hanya mereka yang berperang di medan laga, tetapi juga mereka yang membangun bangsa melalui sistem, kerja keras, dan visi jauh ke depan. Soeharto adalah salah satunya. (Penuulis adalah Wakil Sekjen FKP MPR RI 1999, Wakil Ketua Komisi X DPR RI 2010–2014, Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI)

Jakarta, 23 Oktober 2025