PERDAMAIAN DAN STABILITAS DI WILAYAH TANAH PAPUA MEMBUTUHKAN PENDEKATAN KEBIJAKAN YANG LEBIH KOMPREHENSIF

oleh
oleh

Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi (net)

 

Oleh : Ambassador Freddy Numberi

Laksamana Madya TNI (Purn)

 

Prof. Thoby Mutis (Guru Besar Universitas Trisakti), mengatakan: “Arti sebagai bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur, manakala dirasakan bahwa menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna.” (Manajemen Kemajemukan, sebuah Keniscayaan untuk Mengelola Kebhinekaan Manusia Indonesia Visi 2030, 2008: hal. 5)

1. Pendahuluan

Tuntutan untuk memisahkan diri melalui referendum yang terus disuarakan sebagian orang di Wilayah Tanah Papua (WTP) bukan tanpa sebab. Tuntutan ini lahir dari ketidakpuasaan atas berbagai permasalahaan yang kompleks yang belum terselesaikan hingga saat ini. Konflik berkepanjangan di Papua merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor historis, politik, sosial, ekonomi, dan identitas kultural.

Sejak integrasi wilayah Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1 Mei 1963, berbagai dinamika ketegangan telah muncul, terutama menyangkut legitimasi proses integrasi, representasi politik Orang Asli Papua (OAP), dan distribusi keadilan sosial.

Aktor-aktor utama seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, OAP, dan masyarakat pendatang memainkan peran yang saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain dalam kontruks konflik di Papua.

Geolokasi Papua yang strategis, sejarah kolonialisme dan dekolonisasi yang belum sepenuhnya tuntas secara naratif, serta identitas etnis dan agama yang berbeda dari mayoritas penduduk Indonesia, memperkuat rasa keterasingan dan marginalisasi yang dirasakan oleh OAP. Berbagai kompleksitas ini memunculkan pertanyaan, Faktor mana yang perlu didahulukan untuk menstabilkan konfik yang ada?

2. Pembahasan

Pemenuhan hak-hak dasar serta perlindungan terhadap martabat Orang Asli Papua (OAP) perlu menjadi prioritas utama dalam upaya meredakan konflik Papua. Langkah ini menjadi fondasi penting untuk membangun kepercayaan dan membuka ruang dialog yang konstruktif.

Pendekatan berbasis human security, yang menempatkan keselamatan individu dan komunitas sebagai titik fokus, menawarkan strategi awal yang relevan. Upaya ini mencakup penghentian kekerasan, penegakan hukum yang adil, pemulihan hak atas tanah dan budaya, serta penyediaan layanan publik yang setara.

Kondisi sosial yang lebih adil dan aman akan membantu pemerintah mengurangi ketegangan struktural dan membuka jalan bagi pembicaraan politik yang lebih demokratis. Termasuk di dalamnya adalah kemungkinan membahas tuntutan referendum secara damai dan konstitusional.

Stabilitas tidak dapat dipaksakan, melainkan harus dibangun melalui proses rekonsiliasi, pengakuan, dan partisipasi yang inklusif. Namun, dalam praktiknya, aspirasi politik yang muncul seringkali tidak direspon dengan bijak oleh negara.

Ketidakpuasan atas berbagai permasalahan kompleks di Papua, yang diekspresikan melalui tuntutan referendum, sering kali direspons oleh Pemerintah Pusat sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara. Aspirasi tersebut kerap dikategorikan sebagai tindakan makar atau separatisme, bukan sebagai ekspresi politik yang sah dalam negara demokratis.

Pendekatan semacam ini bukanlah solusi, melainkan justru memperkuat rasa ketidakpercayaan dan memperdalam jurang alienasi antara OAP dan negara. Ketika aspirasi politik dibungkam dan identitas kultural tidak diakui, keberadaan OAP sebagai bagian dari bangsa dan warga negara Indonesia menjadi kabur dan tidak bermakna.

Daoed Joesoef dalam bukunya Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional menegaskan bahwa: “…Negara bangsa adalah ciptaan proklamasi kemerdekaan. Negara adalah bangsa yang terorganisasi tidak hanya menandakan kemauan hidup bersama sekarang dari orang-orang yang membentuknya tetapi juga tekad tetap tinggal bersama dalam satu ikatan politik, yaitu dalam satu negara.

Lupa bahwa orang orang yang membentuknya bukan individu, tapi manusia yang bersuku … kalau mereka (manusia yang bersuku) merasa hidupnya lebih baik, diperhitungkan, diikutsertakan dalam kerja besar bersama yang disebut ‘pembangunan nasional’.

Bila tidak, mereka pasti akan mencari kepastian, security, pada hidup kesukuan yang berarti negara-bangsa menjadi negara-suku, bahkan bila perlu memilih keluar dari kesatuan ultima.” (Daoed Joesoef, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, Kompas:Jakarta, 2014, hlm. 128)

Pernyataan ini menyoroti bahwa keberlangsungan negara-bangsa sangat bergantung pada kemampuan negara untuk mengakomodasi keragaman identitas dan menjamin partisipasi yang bermakna (meaningful particpation) dalam pembangunan.

Ketika OAP merasa tidak diperhitungkan dan tidak diikutsertakan dalam kerja besar nasional, maka wajar jika mereka mencari kepastian dan perlindungan dalam identitas kesukuan. Dalam konteks Papua, hal ini dapat menjelma menjadi tuntutan politik yang lebih radikal, termasuk referendum.

Oleh karena itu, pendekatan terhadap Papua harus bersifat filosofis dan humanistik, bukan sekadar administratif atau militeristik. Negara perlu hadir dengan empati, mendengarkan, dan mengakui bahwa pembangunan sejati adalah proses transformasi menuju kemerdekaan riil yang dinikmati bersama oleh seluruh rakyat, termasuk OAP.

Hanya dengan cara ini, Papua dapat benar-benar menjadi bagian yang bermakna dari Indonesia, bukan sekadar wilayah yang dipertahankan atas nama kedaulatan. Konflik di seluruh wilayah Tanah Papua (WTP) menunjukkan bahwa berbagai isu dapat diredam melalui pendekatan lintas sektor, terutama yang menyentuh aspek kemanusiaan.

Geolokasi, sejarah, dan identitas OAP perlu dijaga dan dihormati, khususnya dalam hal narasi sejarah Papua yang selama ini kurang mendapat ruang. Dorongan perdamaian dari aktor domestik maupun internasional menunjukkan bahwa penyelesaian konflik Papua merupakan kepentingan bersama.

Michael Gorbachev dalam bukunya The Road We Traveled, The Challenges We Face menyatakan: “Peace is not unity in similarity, but unity in diversity, in comparison and conciliation of differences; and, ideally, peace means the absence of violence. It is an ethical value.” (Gorbachev Foundation, Moscow, 2006: hal. 10)

Terjemahan bebasnya : “Perdamaian bukanlah kesatuan dalam kesamaan, tetapi kesatuan dalam keragaman, dalam perbandingan dan konsiliasi perbedaan; dan, idealnya, perdamaian berarti tidak adanya kekerasan. Hal ini merupakan sebuah nilai etis.”

Baruch Spinoza turut menegaskan bahwa: “Perdamaian bukanlah sekadar ketiadaan konflik, melainkan kebajikan yang berasal dari kekuatan pikiran.” (Gregory M. Reichberg, et al., The Ethics of War, Blackwell Publishing, Oxford, UK, 2006: hal. 451). Harapan akan perdamaian dan stabilitas di WTP hanya dapat diperkuat melalui kebajikan yang lahir dari kekuatan pikiran, terutama oleh Pemerintah Pusat.

Negara harus mampu meyakinkan OAP bahwa bersama Indonesia, rakyat Papua memiliki harapan untuk menyongsong masa depan yang lebih baik—adil, makmur, sejahtera, aman, dan damai—dalam semangat Papua Tanah Damai yang hidup dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Atas dasar nilai-nilai tersebut, Pemerintah Pusat perlu mendorong seluruh pihak yang terlibat dalam konflik Papua untuk bersama-sama mencari solusi secara bertahap di bidang politik, ekonomi, sosial, dan kemanusiaan.

Penyelesaian yang menyeluruh sangat diperlukan karena setiap aspek saling berkaitan erat dan tidak dapat ditangani secara terpisah. Pendekatan yang terfragmentasi justru berisiko memperpanjang ketegangan dan memperdalam jurang ketidakpercayaan.

Oleh karena itu, strategi komprehensif yang mengintegrasikan keadilan sosial, rekonsiliasi politik, pembangunan ekonomi yang inklusif, serta perlindungan hak asasi manusia menjadi kunci menuju perdamaian yang berkelanjutan di Tanah Papua.

3. Penutup

Upaya membangun perdamaian dan stabilitas di Wilayah Tanah Papua (WTP) membutuhkan pendekatan kebijakan yang komprehensif, berkeadilan, dan berorientasi pada kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP). Solusi yang ditawarkan tidak cukup hanya bersifat administratif, tetapi harus menyentuh dimensi sosial, politik, dan historis yang selama ini menjadi akar ketegangan.

Beberapa langkah strategis sebagai solusi yang dapat diambil antara lain:

  1. Membangun komunikasi konstruktif antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di WTP, dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang dipercaya oleh OAP dalam proses penyelesaian masalah secara partisipatif dan inklusif;
  2. Mengimplementasikan tata kelola pemerintahan daerah yang bersih dan transparan (Good and Clean Governance) untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memperkuat legitimasi institusi lokal;
  3. Merancang kebijakan afirmatif di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran, sebagai bentuk diskriminasi positif dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, rekrutmen ASN, TNI & POLRI, serta penempatan OAP dalam jabatan strategis di kementerian pusat, sesuai dengan standar nasional;
  4. Mengalihkan peran TNI dan POLRI dari pendekatan keamanan ke pendekatan kesejahteraan, melalui kegiatan sosial, pembangunan infrastruktur, dan pelayanan publik, yang dipayungi oleh kebijakan resmi dari Presiden.
  5. Meluruskan anatomi sejarah Papua dan melaksanakan kebijakan otonomi khusus secara bijak, adil, dan sesuai dengan semangat pengakuan terhadap hak hak OAP. Indonesia adalah negara yang dibangun atas kesadaran kolektif dari berbagai unsur yang beragam dalam sifat, budaya, dan karakteristik.

Seperti yang dikemukakan oleh Ernest Renan, terbentuknya suatu bangsa didasarkan pada dua hal pokok: kesamaan sejarah (aspek historis) dan keinginan untuk bersatu (Le Désir d’être Ensemble). Bung Karno juga menegaskan bahwa: “Nasionalisme Indonesia harus dibangun berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.” (Sulaiman Effendi, 2014: hal. 49)

Sementara itu, Marshall Georgy K. Zhukov menyatakan: “Ketika kamu melakukan suatu perbuatan, kamu bertanggung jawab atasnya.” (William A. Cohen, Ph.D, New Jersey, 2001: hal. 128). Pernyataan ini mengandung makna mendalam, bahwa Pemerintah Pusat memiliki tanggung jawab penuh atas masa depan WTP, termasuk dalam menjamin kesejahteraan, keadilan, dan pengakuan terhadap OAP sebagai warga negara yang bermartabat.

Hanya dengan pendekatan yang menyeluruh dan berlandaskan nilai nilai kemanusiaan, Papua dapat benar-benar menjadi bagian yang bermakna dari Indonesia. Bukan sekadar membentuk wilayah administratif, melainkan membangun WTP yang damai dalam bingkai NKRI. (Penulis adalah mantan Dubes Italia merangkap Malta dan Albania, mantan Gubernur Irian Jaya, mantan Menhub, mantan Menpan-RB, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan).

Jakarta, 25 Oktober 2025