Sekolah Demokrasi LP3ES Tebarkan Spirit Demokrasi

oleh

JAKARTA, REPORTER.ID – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) terus menebarkan spirit demokrasi dengan menyelenggarakan Sekolah Demokrasi (Sekdem) yang kedua kalinya.

Bedanya, Sekdem kali ini fokus pada daerah karena LP3ES juga ingin membangun demokrasi dan kesejahteraan di daerah.

Sekolah Demokrasi ini akan berlangsung selama 2 minggu dari 16 hingga 29 Agustus 2020. Sekolah demokrasi kedua ini ditujukan untuk menyambut HUT Indonesia yang ke-75 dan Ultah LP3ES yang ke-49 pada 19 Agutus 2020.

Sekolah demokrasi dibuka pada Minggu (16/8/2020). Pembicara antara lain Wijayanto (Kepala sekolah demokrasi LP3ES dan Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES), Fajar Nursahid (Direktur Eksekutif LP3ES), Didik J. Rachbini (Ketua Dewan Pengurus LP3ES), Budi Setiyono (Pembantu Rektor I UNDIP), dan Ismid Hadad (pendiri LP3ES).

Wijayanto, Kepala Sekolah Demokrasi (Sekdem) yang sekaligus merupakan direktur Center for Media and Democracy mengatakan, Sekdem II ini terselenggara berkat kerja sama antara LP3ES dan Universitas Diponegoro. Peserta yang mendaftar tak kurang dari 652 orang yang terdiri dari anggota DPRD, akademisi, penyelenggara pemilu, peneliti, pengurus parpol, jurnalis, ASN, tokoh masyarakat dan mahasiswa dari seluruh Indonesia, mulai Aceh hingga Papua, Kalimantan, Sulawesi, Bali hingga Nusa Tenggara.

Menurutnya, keragaman ini penting karena sekolah demokrasi ini didirikan dengan niat untuk membangun satu forum yang bisa menjadi jembatan bagi aktor-aktor progresif dari berbagai latar belakang untuk bertemu dan berdialog. Keragaman latar belakang menjadi kekayaan.

“Hal ini karena seringkali tiap aktor politik berbicara dalam keterbatasan perspektif mereka masing-masing yang dipengaruhi oleh posisinya berada. Ini kemudian menciptakan situasi ketika masing-masing aktor saling menyalahkan satu sama lain,” ujar Wijayanto dalam sambutannya secara virtual, Minggu (16/8/20).

Mengapa perbedaan persepsi ini terjadi? Menurut Wijayanto, pandangan filsuf dan sosiolog Perancis Pierre Bourdieu dapat membantu menjelaskannya lewat teorinya tentang arena yang dikenal sebagai “field theory”. Inti argumennya adalah bahwa bahwa arena merupakan satu lokus yang memiliki logikanya sendiri yang akan membentuk dan mempengaruhi tindakan sosial dari subyek yang ada di dalamnya.

“Karena setiap aktor bergerak menurut logika arenanya masing-masing dan melihat dari sudut pandang arenanya itu, maka tak heran jika mereka melihat dengan cara yang berbeda dan menginternalisasi satu habitus yang berbeda pula,” jelasnya.

Dalam hal ini, Bourdieu membagi arena dalam kategori arena akademik, arena politik , dan arena jurnalistik. Lantas, karena setiap aktor cenderung melihat masalah dalam persepktif mereka yang sempit, maka satu wadah yang bisa menjadi jembatan agar orang-orang yang berasal dari arena yang berbeda-beda itu untuk saling bertemu dan berdialog menjadi penting. Meminjam ide Habermas, dialog merupakan metode untuk menemukan rasio komunikatif.

Dialog membangun saling pengertian, menstimulasi pemikiran kritis dan menghadirkan ide-ide baru yang segar. Pertama-tama untuk merumuskan masalah konsolidasi demokrasi yang kita hadapi dengan dingin, jujur, tanpa tergesa. Termasuk mempertanyakan apa yang kita anggap normal dan tidak normal dalam peradaban politik kita.

Banyak aspek yang ikut terbawa ketika demokrasi masuk dalam pembahasan, termaksud dalam diselenggarakannya Sekolah Demokrasi ini. Keberagaman yang dapat diamati dari komposisi perserta ternyata tidak menjadi satu-satunya hal menarik. Sejalan dengan beragamnya latar belakang yang layaknya miniature negara, topik-topik yang diangkat dalam serangkaian materi juga diwarnai oleh semangat desentralisasi.

Hal ini ternyata menegaskan bagaimana demokrasi, walaupun bukan menjadi sebab utama, tetapi tetap berhubungan dengan pembangunan dan kesenjangan dalam masyarakat di daerah. Walaupun demikian, di negara-negara yang dianggap demokratis, seperti Thailand dan India, kesenjangannya tertinggi di dunia.

Sementara, Didik J Rachbini menerangkan, demokrasi itu necessary but not sufficient. Jadi, perlu, tapi tidak otomatis. Perlu ada orang yang berjuang.

Sedangkan, peneliti LP3ES Ismid Hadad menjelaskan, dalam pembangunan yang dilakukan pemerintah, perlu ada perspektif bottom-up yang diperjuangkan oleh berbagai kalangan masyrakat sipil. Di sisi ini lah, demokrasi masuk dan memainkan peranannya.

“Jadi, demokrasi itu menjadi titik tolak dan landasan untuk mencapai tujuan, tetapi sekaligus sebagai cara untuk mencapai tujuan pembangunan itu sendiri yang harus ditentukan bersama rakyat, bersama masyrakat. Jadi, prinsip demokrasi dilaksanakan bukan hanya sebagai persyaratan procedural,” kata Ismid.

Lebih jauh Ismid menyampaikan bahwa sekolah demokrasi ini juga ditujukan untuk menyambut ultah Indonesia yang ke-75 dan Ultah LP3ES yang ke-49 pada 19 Agutus 2020.

Eksistensi dari Sekolah Demokrasi pun turut mengambil peranan yang nyata dalam upaya melakukan investasi sumberdaya manusia. Hal tersebut diapresiasi oleh Budi Setyono, “Saya kira momen seperti ini dan sekolah seperti yang diinisiasi oleh LP3ES adalah satu hal yang sangat penting. Bagaimana kita mentradisikan cara-cara pencapaian tujuan di dalam meraih substansi nilai-nilai demokrasi itu di dalam milestone yang bisa terukur sedemikian rupa. Sehingga kita bisa menikmati apa yang namanya demokrasi itu, bukan justru demokrasi yang memakan korban anak bangsa sendiri.”

Direktur Eksekutif LP3ES, Fajar Nursahid, mengatakan bahwa pada Sekdem kali ini fokusnya adalah pada daerah karena LP3ES juga ingin membangun demokrasi dan kesejahteraan di daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *