Pakar Hukum Desak Batalkan Legalitas Ganja di Indonesia

oleh

JAKARTA, REPORTER.ID – Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) Yenti Garnasih menegaskan Kepmentan jangan sekedar dicabut untuk direvisi, melainkan harus batalkan legalitas ganja di Indonesia.

Demikian Yenti Garnasih, Selasa (1/9/2020) terkait
sempat viral dan menjadinya polemik di masyarakat, dimana Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo akhirnya mencabut Kepmentan Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang mencantumkan ganja sebagai komoditas tanaman binaan di bawah kementerian yang dipimpinnya.

“Saya memandang ide melegalkan ganja apapun peruntukannya misalnya seperti yang baru-baru ini untuk pengobatan, apalagi tidak/belum memiliki payung hukum yaitu UU baru yang tentunya tidak boleh bertentangan dengan UU sebelumnya atau yang lain, tentu ini sangat disayangkan,” kata Yenti..

Ditambah lagi dari beberapa media massa mainstream nasional, alasan dicabutnya Kepmentan Nomor 104 tahun 2020, untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi [setelah] berkoordinasi dengan stakeholderĀ terkait (BNN, Kemenkes, LIPI).

“Pasang-cabut kebijakan atau peraturan seperti ini, tentunya membuat rakyat bingung dan menimbulkan banyak pertanyaan hingga dugaan di publik, dan tentu mengganggu kewibawaan Pemerintah,” ujarnya.

Karena itu, wajar saja lanjut Yenti, jika ada masyarakat yang menduga; Apakah aturan Kepmentan ini karena pesanan? Apakah ini semacam ‘test’ untuk melihat reaksi masyarakat?

Memang, ada beberapa negara yang melegalkan ganja, khususnya untuk obat-obatan. Tapi kalau kita akan mengikuti hal itu ,apakah sudah dipelajari mengapa beberapa negara tersebut sampai pada keputusan seperti itu.

“Tentu harus ada kajian mendalam dari berbagai sudut pandang, geografis Indonesia, tingkat pendidikan kebanyakan masyarakat terkait kedewasaannya untuk tidak menyalaggunakan legalisasi ganja untuk pengobatan, pengawasannya dan lain- lain,” jelas Yenti.

Intinya kata Yenti, tidak semua yang cocok atau siap diterapkan di negara lain, tepat atau cocok di Indonesia, terutama dalam implementasinya. Sesuai dengan persyaratan pengaturan yang akan diberlakukan, minimal harus ada rencana pembahasan yang berisi konsensus masyarakat terkait dengan hal tersebut, kajian- kajian cost and benefitnya bila melegalkan untuk pengobatan, dan tentu setelah itu harmonisasi hukum dengan peraturan lain dan terakhir pada kementrian mana usulan ini akan dilakukan.

Mengingat tentang ganja ini terkait peraturan setingkat UU yang melarang, maka tidak mungkin dianulir oleh Keputusan Menteri.

Sepatutnya, kalau Kementan mempunyai pandangan bahwa ganja adalah pohon obat atau untuk pengobatan, maka seyogyanya mengajak aparatur penegak hukum (BNN, Polri, Kejaksaan), LIPI, Kemenkes, dan stakeholder lainnya) untuk duduk bersama sebelum mengeluarkan keputusan yang dinilai publik sebagai keputusan pemerintah.

Atas dasar itulah menurut Yenti, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, sehubungan dengan Keputusan Menteri Pertanian RI No. 104/ KPTS/HK.140/M/2/2020 tentang Komoditas Binaan Kementerian Pertanian, yang memutuskan bahwa ganja termasuk komoditas binaan Kementerian Pertanian namun selanjutnya dibatalkan, mengingatkan menyatakan sudah tepat kalau dibatalkan, karena selain uraian di atas juga karena antara lain sebagai pertimbangan:

1. Menurut Undangn – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Ganja adalah Narkotika Golongan I seperti halnya Kokain dan Opium.

2. Barang siapa yang memproduksi atau mendistribusikan, diancam maksimal dengan pidana mati.

3. Bahwa KepMentan urutannya adalah di bawah Undang-Undang, oleh karena itu Keputusan seorang Menteri tidak boleh berisi ketentuan yang bertentangan dengan Undang-Undang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *