TePi: Usulan Penundaan Pilkada Terlalu Cepat

oleh

JAKARTA, REPORTER.ID – Pasca pendaftaran Paslon lalu, tuntutan penundaan Pilkada Serentak 2020 makin kencang. Semakin banyak kalangan kini menyuarahkannya, mulai dari kelompok pegiat pemilu, lembaga negara sampai kepada kelompok keagamaan. Tapi, tuntutan penundaan itu terlalu cepat.

“Bagi kami, terlalu cepat kita menuntut penundaan Pilkada, tanpa melihat seberapa serius upaya kita dalam mengantisipasi dampaknya. Cara ini terkesan terlalu pasrah dan ingin menghindar dari kenyataan,” tegas. Jeirry Sumampow Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePi), Senin (21/9/2020).

Tentu kata Jeirry, keselamatan rakyat penting sekali dan menjadi perhatian paling tinggi. “Dan ini jadi fokus ketika di bulan Juni 2020 lalu, mengambil keputusan sebagai bangsa untuk tetap melaksanakan Pilkada Serentak tahun 2020 ini,” ujarnya.

Pertanyaannya lanjut Jeirry, apakah perhatian itu sudah dilaksanakan dengan baik? Disinilah perlu ada evaluasi untuk melihat dimana letak persoalannya. Bukan dengan buru buru mengusulkan penundaan Pilkada.

Menurut Jeirry, penundaan Pilkada boleh saja, baik saja. Tapi melakukan itu tanpa melakukan evaluasi mendalam dan memetakan letak persoalannya, merupakan sikap dan tindakan yang terlalu terburu-buru.

Karena itu, merespon wacana penundaan Pilkada yang digulirkan oleh beberapa kalangan, hal itu bagi TePi, sebagai cara menangani persoalan memang cenderung cari gampang. Bukan lihat dan dalami persoalan lalu cari solusi, dan bahkan cenderung mencari kambing hitam.
“Ini terjadi mulai dari persoalan yang sifatnya remeh-temeh sampai persoalan yang serius dan rumit. Kami menilai bahwa cara inilah yang terjadi dalam kasus tuntutan penundaan Pilkada. Jika begini, memang bakal repot terus ke depan, tak akan ada kepastian,” kata Jeirry.

Tak tepat jika Pilkada dijadikan kambing hitam kegagalan dalam menangani penyebaran covid-19. Sebab, apa bedanya kumpulan orang yang setiap hari beraktifitas di pasar tanpa protokol Covid-19 yang ketat dengan kumpulan massa di Pilkada? Dalam kerangka penanganan Covid-19, mestinya sama saja. Tapi yang disalahkan adalah kumpulan massa dalam Pilkada. Yang di pasar dianggap ok saja, tak masalah.

“Kalau mau didalami, ada ketidakberesan penyelenggara yang tak mengantisipasi tahapan pendaftaran calon kemarin, sehingga menjadi ramai diperbincangkan sebagai pembuat cluster penularan Covid-19 baru. Lagi-lagi, ketakberdayaan terhadap Pandemi Covid-19 seolah dijadikan tameng untuk membenarkan kinerja penyelenggara yang tak becus itu,” jelas Jeirry.

Menurut Jeirry, penyelenggara tak boleh pasrah dan membiarkan seolah memang sudah begitulah keadaannya Pilkada dalam suasana Pandemi Covid-19. Penyelenggara tak boleh merasa bahwa karena Pandemi Covid-19 ini maka mereka tak punya kuasa apa-apa untuk mengatasinya, tanpa berupaya serius memikirkan bagaimana agar tahapan tak menjadi cluster penularan Covid-19. Bukankah mereka diberikan kewenangan oleh UU untuk mengatur, jika perlu memaksa, agar tahapan Pilkada tak menjadi arena penularan Covid-19? Bagi kami itu jelas dalam UU No.6/2020?

Dalam kerangka Pilkada dimasa Covid-19 ini, penyelenggara juga mesti menyesuaikan hal-hal dalam tahapan yang berpotensi menjadi media penularan Covid-19. Mekanisme teknis dalam setiap tahapan harus disederhanakan. Tak boleh persis sama dengan pada masa normal.

“Jika ada hal yang bisa menjadi media penularan, maka itu bisa saja ditiadakan. Itu bagian dari resiko yang harus diambil demi kebaikan dan keselamatan bersama. Tak boleh takut untuk melakukan hal itu. Misalnya, dalam tahapan penetapan calon nanti atau kampanye. Pengerahan massa harus dilarang dan jika terjadi harus ditindak dengan tegas. Berikan sangsi sesuai dengan regulasi yang ada,” tambah Jeirry.

“Jika ditunda, kapan tundanya? Jika menunggu Pandemi Covid-19 berakhir, kapan itu? Bisa satu, dua atau bahkan 5 tahun lagi. Apakah kita harus menunggu selama itu dalam ketidakpastian? Karena tidak ada yang bisa memberikan kepastian, maka bukankah lebih baik kita lanjutkan dengan penerapan protokol kesehatan Covid-19 yang lebih ketat dan penerapan sangsi yang lebih tegas? Mari kita pertimbangkan dengan rasional dan objektif demi kebaikan dan keselamatan bersama!” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *