JAKARTA,REPORTER.ID – Sentimen dan kekerasan anti rasial terhadap warga negara keturunan Asia termasuk Indonesia yang terjadi di Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini salah satu penyebabnya adalah dampak dari kekalahan Donald Trump dalam Pilpres AS pada Desember 2020 lalu. Statement Trump yang kontroversial pun selama Pilpres khususnya pada China justru makin memicu perilaku rasial tersebut.
Ditambah lagi pandemi covid-19 yang mengakibatkan terjadinya kesulitan lapangan kerja, ekonomi AS terpuruk dibanding China, korban yang terpapar covid-19 di AS hingga 35 juta orang adalah yang terbesar di dunia. Sehingga kondisi itu yang mungkin mendorong warga AS melakukan tindakan rasial anti Asia tersebut.
“Ada baiknya AS dan warga AS belajar pada Indonesia. Dengan penduduk yang besar, suku, agama, budaya, adat dan bahasa yang berbeda-beda, terbukti bangsa ini tetap satu. Mengapa? Karena memiliki Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, yang diamalkan secara konsekuen dan bertanggungjawab,” demikian Wakil Ketua MPR RI Syarif Hasan.
Hal itu disampaikan Syarif Hasan dalam diskusi Empat Pilar MPR “Menyoal Rasisme Anti Asia Di AS, Bagaimana Nasib WNI?” bersama Anggota MPR Fraksi Golkar, Christina Aryani di Gedung MPR RI, Senayan Jakarta, Senin (29/3).
Syarif Hasan yang juga anggota Majelis Tinggi DPP Partai Demokrat itu menilai seharusmya Trump sebagai presiden dan calon presiden AS saat kampanye bisa membaca situasi sosial secara global, mana yang sensitif dan bisa memicu konflik rasial di AS sendiri atau tidak? Sehingga statementnya yang keluar sebagai negarawan AS sebagai kampium demokrasi, dan bukannya sebagai koboy atau preman.
Apalagi lanjut Syarif, AS sudah menandatangani banyak undang-undang terkait dengan hak asasi manusia (HAM), Konvensi Whina dan lain-lain.
Kalau krisis ekonomi, itu bukan saja terjadi di AS, tapi hampir di seluruh dunia dan hampir seluruh dunia saat ini secara ekonomi dikuasai China. Sehingga ada benarnya kalau kekerasan anti rasial tersebut juga dipicu oleh krisis ekonomi di AS sendiri, yang makin diperparah dengan covid-19. “China itu maju secara ekonomi, kapitalnya kuat, teknologi dan lain-lain. Mungkin warga AS mulai tersisih,” ungkap Syarif.
Nah, pemerintah Indonesia sendiri melalui konstitusi, UU dan Permenlu RI yang ada berkewajiban melindungi warga negaranya di luar negeri. “Sejak 2011 ada puluhan ribu WNI yang terdampak kekerasan dan tindak kejahatan di AS, tapi Alhamdulillah semua bisa diatasi dengan baik. Itulah antara lain yang menjadi tugas para duta besar di AS dan luar negeri lainnya, yang perlu didukung dengan anggraran yang memadai,” kata Syarif.
Menurut Christina kekerasan anti rasial itu sudah terjadi pada warga Tiongkok sejak tahun 1950-an. Dan, saat ini ditambah virus covid-19, yang oleh Donald Trump malah diprovokasinya sebagai virus China. Korban covid-19 di AS pun hingga mencapai 35 juta orang, jumlah terbesar di dunia. Inilah kata politisi Golkar itu, yang membuat AS makin terpuruk.
Soal aturan larangan rasisme sudah ada di AS. Hanya saja unsur-unsur tindak pidana rasisme dalam UU tersebut sulit dipenuhi saat ini. Hal itu kata Christina, karena saat UU rasisme itu dibuat kondisinya berbeda dengan sekarang. “Sehingga definisi rasisme itu pun sulit diterapkan saat ini,” ujarnya.
Namun demikian, pemerintah Indonesia sudah melakukan langkah-langkah perlindungan terhadap WNI di AS. Khususnya bagi dua remaja WNI yang mendapat perlakuan rasial di Kereta Api Philadelpia. “Baik Kemenlu RI, Duta Besar di 6 KJRI di AS sudah berkolaborasi dengan baik untuk melindungi dan memgantisipasi kemungkinan terjadinya kekerasan anti rasial tersebut,” jelas Chtistina.
Christina menyambut positif rencana Kemenlu RI yang akan memvalidasi data WNI di AS. Pasalnya, selama ini banyak WNI yang tidak melapor, kecuali mau menikah, kehilangan paspor dan sebagainya, agar diketahui jumlah konkret berikut tempat tinggalnya. “Juga sangat baik, kalau AS mau belajar dari kultur Indonesia yang sangat beragam, pluralism, tapi tetap damai,” ungkapnya.