JAKARTA,REPORTER.ID – Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) bukan sesuatu yang haram. Artinya dibolehkan untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat selama memenuhi unsur dan mekanisme hukum. Sebab, banyak kasus hukum yang menggantung bahkan banyak rakyat yang menjadi korban mafia peradilan.
Contohnya, berapa banyak rakyat tak berdaya menghadapi kasus tanah, yang ia tak pernah menandatangani surat-surat tanah, di badan pertanahan nasional (BPN) dan lain sebagainya, tapi tiba-tiba sertifikat tanahnya sudah digadaikan ke bank. “Banyak rakyat tak bersalah tapi jadi korban mafia hukum saat berhadapan dengan pengusaha,” tegas Wakil Ketua DPR RI M. Azis Syamsuddin.
Hal itu disampaikan Azis dalam forum legislasi “RUU Kejaksaan Komitmen DPR Perkuat Korps Adhyaksa” bersama anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat Hinca IP Panjaitan, dan Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa, 13 April 2021.
Itulah lanjut Azis yang disebut restorative justice.
Menurutnya, lebih baik membebaskan 1.000 orang dari hukuman daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Karena itu, kalau perlu calon Kepala Kejagung RI nantinya mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR, yang selama ini hanya menjadi kewenangan Presiden RI.
Sementara presiden sendiri sampai hari ini belum mengirimkan surpres (surat perintah presiden) untuk membahas RUU Kejaksaan tersebut. Padahal, sukses tidaknya RUU itu tergantung kepada pemerintah dan DPR sendiri. Sehingga kedua lembaga ini harus sinergi dalam menyelesaikannya.
“Jadi, sekarang DPR tunggu surpres RUU Kejakasaan setelah mendapat persetujuan pimpinan DPR RI, dan akan diilanjutkan penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM). Pada prinsipnya DPR dan pemerintah sepakat memperkuat lembaga negara termasuk Kejaksaan,” kata Azis.
Soal apakah RUU itu akan selesai pada persidangan ini, Azis menyatakan harus selesai. Sebab,
dari target prolegnas 33 itu setiap alat kelengkapan dewan termasuk fraksi-fraksi mengajukan 2 RUU. Dari 9 fraksi DPR, Kelompok DPD RI, dan pemerintah berjumlah 33 RUU. “Maka kalau 33 RUU ini tak selesai pada masa sidang ini, tahun depan usulannya akan dikurangi,” jelas Waketum Golkar itu.
Hinca sependapat kalau semangat revisi UU kejaksaan ini diantaranya restorative justice. Yaitu bukan saja menegakkan, tapi bagaimana rasa keadilan masyatakat itu bisa dirasakan. Terlebih banyak kasus yang tidak dieksekusi dan banyak pula putusan PTUN yang tak diselesaikan. “Padahal, hakim itu pengendali, sopir sekaligus pendorong (gas) dan pengerem. Juga bisa meng SP3 kan kasus-kasus yang dirasakan tidak adil bagi masyarakat. Inilah semamgat restorative justice tersebut,” kata Hinca.
Barita juga mendukung penguatan kejakasan terdebut, agar tak banyak kasus yang bolak-balik ke pengadilan. Dimana jaksa akan punya kewenangan aktif untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan serta memberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk suatu kasus.
Tanpa kewenamgan itu kata Barita, Jaksa tak akan produktif
untuk menjalankan tugasnya untuk mewujudkan kejaksaan yang berintergritas, independen, profesional dan dengan pengawasan yang transparan. “Dengan begitu akan menjadi kejakasaan yang disegani, bukan ditakuti,” ungkapnya.
Menurut Barita setidaknya ada 30 an poin dalam RUU Kejaksaan ini, yang memperkuat kejaksaan. Namun, dalam pelaksanannya perlu pengawasan yang ketat. “Jangan sampai ibu tua karena merusak gembok pagar kebun sawit akibat tak bisa keluar dari rumahnya malah dipenjara selama 2 bulan. Ini contoh rakyat berhadapan dengan pengusaha, aparat dan preman,” kata dia menyontohkan.