JAKARTA,REPORTER.ID – Pemahaman agana yang sempit seperti diakui Napi teroris bom Bali, Ali Imron adalah bibit-bibit bagi anak muda yang bisa mengantarkannya menjadi ekstrimis, radikal dan teroris. Bahkan untuk menjadikannya teroris hanya butuh waktu dua jam, dan sebaliknya menjadikannya sebagai warga negara yang sadar bahwa Indonesia ini ditakdirkan sebagai bangsa yang majemuk membutuhkan waktu yang sangat lama.
Demikian disampaikan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah pada diskusi 4 Pilar MPR RI ‘Menamgkal Penyusupan Paham Ekstrimisme di Kalangan Kaum Muda” bersama Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti di Gedung MPR RI, Senayan Jakarta, Senin, 26 April 2021.
Lebih lanjut Basarah mengatakan mereka yang militan tersebut ingin melanjutkan perjuangan DII (Darul Islam Indonesia) dan TII (Tentara Islam Indonesia), sehingga mereka menilai Pancasila itu produk negara kafir dan thogut. Padahal Pancasila itu produk dan hasil ijtihad para ulama bangsa Indonesia. “Kalau mereka menganggap thogut berarti kelompok teroris itu menistakan hasil ijtihad para ulama,” ujarnya.
Anehnya jumlah kaum milenial yang tak mendukung Pancasila itu mencapai 53 persen, jumlah yang cukup besar dibanding jumlah penduduk Indonesia. Lalu, kata Basarah, apakah generasi-generasi ini yang ikut mendesign hilangnya Pancasila dan bahasa Indonesia dari Standar Nasional Pendidikan (SNP) dalam PP 57 tahun 2021? “Itulah tugas MenPAN-RB Tjahjo Kumolo untuk menyelidiknya, apakah termasuk dari 19,4 persen ASN yang mendukung Pancasila diganti ideologi lain, meski Kemendikbud bersedia merevisinya,” jelas Basarah.
Itulah antara lain menurut Basarah yang membutuhkan peran pers, karena mereka itu lebih percaya berita-berita di media sosial, hoaks yang terstruktur, sistimatis dan masif dibanding berita-beritab resmi pemerintah. “Survei Kominfo RI mereka percaya medsos (23 persen) dan situs resmi pemerintah hanya (15 persen). Bahkan Kominfo RI telah menghapus 8300 konten radikalisme dan selama 20 tahun terakhir ini telah terjadi 533 kali aksi terorisme atau terdapat 2 kali aksi terorisme dalam setiap bulannya,” ungkapnya.
Sememtara itu Abdul Mu’ti
mengakui jika dirinya sudah terbang ke berbagai negara di dunia, baik Eropa, Amerika, Australia dan lain-lain, yang semuanya dalam diskusi tersebut menginginkan negaranya memililki Pancasila, dan mereka berharap Indonesia harus mempertahankan Pancasila yang menghargai keragaman bangsa tersebut. “Dunia saja mendukung dan ingin memiliki Pancasila, masak kita sendiri tidak mengapresiasinya,” tuturnya.
Lalu, mengapa paham ekstrimisme itu lebih dominan menyasar kelompok milenial, menurut Abdul Mu’ti karena faktor psikologis dimana di usia mereka itu sedang mencari jati diri, identitas, termasuk ideologi, makanya mereka juga sering ganti-ganti model rambut dan sebagainya. Karena itu, kalau paham yang masuk salah di tengah kekosongan jiwanya, maka pemahamannya akan salah.
Selain itu kata Mu’ti, di usia muda tersebut mengalami lack of knowledge, kurangnya pengetahuan sekaligus minimnya keteladanan. Sehingga mereka menemukan heroisme baru, memcari ideologi baru non Pancasila, yang dianggap lebih baik. “Selain itu kurang ruang ekspresi, hidupnya menjadi tertutup, introper, RT (rukun tetangga) tak berfungsi, sudah tak kenal satu sama lain, maka tak ada integrasi sosial yang otomatis tak ada kohesi sosial lagi di masyarakat,” tambahnya.
Yang penting kata Mu’ti, untuk mencegah ekstrimisme itu jangan selalu dengan pendekatan top down, tapi partisipatif. Karena itu, pendekatan yang dilakukan selama ini perlu dievaluasi, tak selalu struktural. “Bahwa Pancasila itu dasar negara yang islami yang dikagumi dunia,” pungkasnya.