Konflik Papua: Mari Berdialog Tanpa Senjata

oleh
oleh
Papua, Bumi Cendrawasih.
R Graal Taliawo

Oleh: R Graal Taliawo (Pegiat Sosial dan Peneliti Politik Papua)
KONFLIK di Papua kembali menelan korban jiwa. Kini Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny, kemarin dua guru (Oktovianus Royo dan Yonatan Renden), sebelumnya Pendeta Yeremia Zanambani, dan di belakang masih banyak daftar nyawa lainnya yang menjadi korban dalam konflik ini, terlepas dari aparat ataupun masyarakat sipil.

Tak hanya itu, berbagai rangkaian kasus pun pecah di Papua. Beberapa dari daftar panjang tersebut adalah rasisme di Malang yang melebar ke Surabaya pada Agustus 2019 lalu, yang berujung pada demonstrasi serentak di berbagai wilayah Papua dan Papua Barat hingga pemblokiran internet di Papua. Kasus Nduga, penembakan pekerja PT Istaka Karya yang menyebabkan keadaan kacau-balau sehingga ribuan warga mengungsi ke kabupaten sekitar. Terbaru, kasus di Beoga yang mana terjadi pembakaran sekolah dasar dan rumah kepala suku, serta penembakan dua guru yang diklaim sebagai mata-mata atas Papua.

Konflik Papua ini nyatanya masih koma—masih terus menuliskan kisahnya—berkepanjangan, bahkan merembet. Entah kapan dan bagaimana jika eskalasi sudah mencapai puncaknya. Kapan ini akan selesai? Berapa banyak lagi nyawa yang akan menjadi korban? Adalah pertanyaan yang selalu ditanyakan, tetapi selalu juga belum sungguh-sungguh terjawab.

Respons yang keliru dan pendekatan yang tidak sesuai bisa menjadi salah satu indikator mengapa permasalahan di Papua belum juga menemukan titik cerah. Hampir sebagian besar respons dilakukan dengan pendekatan militer dan senjata.

Jauh ke belakang (sebagai salah satu akar), kita diingatkan dengan TRIKORA, Operasi Mandala, dan operasi lainnya yang alih-alih bertujuan untuk mengamankan situasi Papua, justru menjadi sumber pertumpahan darah.

Belakangan, yang kabarnya telah lima kali digelar di Papua adalah Operasi Nemangkawi. Operasi gabungan TNI-Polri ini bertujuan menumpas kelompok bersenjata di Papua, organisasi penolak otsus Jilid II, dan lainnya. Tidak dinyatakan dalam keadaan darurat konflik, tapi pengerahan ribuan aparat bak di Papua sedang dalam kondisi perang.

Belum lagi pemerintah resmi mengategorikan mereka yang disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua oleh negara sebagai teroris. Ini tentu berpengaruh terhadap kewenangan negara merespons mereka dan jenis hukuman yang dijatuhkan.

Namun, tepatkah mereka dicap teroris? Tepatkah mereka yang notabenenya sedang melindungi ‘tanah’ mereka sendiri dicap sebagai teroris? Sama seperti aparat yang membela Tanah Air-nya, begitu pula dengan mereka yang menjaga rumahnya sendiri. Bukankah begitu?

Selain itu, Otsus Papua yang telah diberikan negara pun belum mampu mengatasi permasalahan. Padahal anggaran dana otsus hingga 2020 mencapai Rp105,19 Triliun, bukan nominal yang sedikit.

Apa semua itu (represif dan ‘uang’) mampu menyelesaikan masalah di Papua dan menjadi jaminan tidak ada lagi nyawa yang akan melayang?

Rasanya tidak. Diperlukan evaluasi jika kebijakan yang sudah-sudah tidak mau disebut sia-sia. Sudah jelas, identifikasi masalah yang keliru akan menghasilkan kebijakan yang keliru pula, bahkan menjadi sumber permasalahan baru. Maka itu, identifikasi akar masalah perlu dilakukan supaya resep yang digunakan bisa ampuh menangani permasalahan.

Masalah Papua bersifat multidimensi dan kompleks. Setidaknya, LIPI (2009) telah mengategorikannya ke dalam empat permasalahan pokok, yakni sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia; pelanggaran HAM; marginalisasi dan diskriminasi; serta kegagalan pembangunan. Belum lagi berbagai kepentingan luar negeri dan kelompok tertentu yang mungkin justru menjadi batu sandungan terbesar dalam penyelesaian konflik Papua ini.

Permasalahan yang multidimensi dan kompleks tersebut membutuhkan penyelesaian yang juga harus multidimensi dan kompleks. Tidak bisa simplifikasi dan penyamarataan atau semata “tumpas habis KKB Papua” seperti yang disampaikan ketua MPR, Bambang Soesatyo, ketika merespons gugurnya Kabinda. Ini justru akan membuat situasi semakin tidak kondusif, tanpa penyelesaian.

Paling dasar, pemerintah bisa memulai dengan semangat juga keinginan politik yang baik dan respons yang humanis dengan pendekatan sosial budaya.

Pemerintah perlu memandang kasus Papua dengan perspektif hak asasi manusia, bukan sekadar konflik kepentingan kelompok tertentu. Kesampingkan arogansi yang hanya akan memperkeruh suasana serta menciptakan situasi yang ‘mencekam’.

Kedepankan upaya-upaya yang lebih memanusiakan manusia, merangkul masyarakat Papua dengan empati. Terlalu banyak ingatan penderitaan (memoria passionis) yang membekas dalam pengalaman hidup orang Papua, sehingga dibutuhkan pendekatan yang lebih mengutamakan kesetaraan, hati nurani, dan ketulusan, untuk mengubahnya menjadi ingatan kebahagiaan (memoria felicitas).

Sekarang ini, yang diperlukan adalah upaya-upaya damai sebagai langkah pertama, serta hentikan pengiriman penambahan pasukan non-organik ke wilayah Papua adalah langkah selanjutnya.

Dialog sebagai tahap awal untuk membicarakan penyelesaian juga perlu segera dikonkretkan, seperti yang disarankan oleh banyak kalangan. Diperlukan keterbukaan kedua belah pihak untuk mau membicarakan aspirasi masing-masing secara damai dan setara.

Cara damai bisa menekan jatuhnya korban jiwa di antara kedua pihak yang berkonflik di Papua. Daftar korban jiwa bisa dihentikan, isak tangis dan air mata bisa diakhiri, jika semua pihak mau bersikap rendah hati serta siap menghadapi dan menyelesaikan masalah di wilayah Papua secara damai, terbuka, dan bermartabat. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *