Ketua MPR Minta Pemerintah Kaji Ulang Pengenaan Pajak Sembako

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID – Ketua MPR meminta pemerintah mengkaji ulang secara sosiologis baik dari sisi produksi ataupun konsumsi terhadap rencana tersebut, dikarenakan kenaikan PPN terhadap bahan pokok sangat berpotensi semakin memberatkan kehidupan masyarakat yang sudah dibebani kondisi sulit adanya pandemi Covid-19.

Demikian disampaikam Bamsoet di Jakarta, Kamis (10/6/2021) terkait
Pemerintah yang berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai/PPN terhadap bahan pokok atau sembako dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan.

“Jadi, kami meminta pemerintah mempertimbangkan kembali dampak apabila pajak bahan pokok di saat perekonomian belum sepenuhnya pulih diberlakukan, seperti berpotensi menyebabkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat, meningkatkan biaya produksi, dan menekan sisi psikologis petani, serta meningkatkan angka kemiskinan,” kata Bamsoet.

Selain itu, Bamsoet meminta pemerintah mencari cara untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebankan masyarakat dengan PPN terhadap bahan pokok di tengah situasi pandemi covid-19, termasuk apabila ingin memperluas basis pajak.

Sebelumnya, Pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi bahan pokok atau sembako. Pengenaan PPN sembako tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pengenaan pajak diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU Nomor 6 tentang KUP tersebut.

Sebagai informasi, PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pihak yang membayar PPN adalah konsumen akhir.

Dalam draf beleid tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Artinya, daftar yang dihapuskan akan dikenakan PPN.
Sembako atau jenis-jenis kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tak dikenakan PPN itu sendiri sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.

Barang tersebut meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.
Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud adalah emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi.

Selain memperluas objek PPN, revisi UU KUP tersebut juga menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN.
Beberapa di antaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.
Ada pula jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat di air serta angkutan udara dalam negeri dan angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Meski demikian, dalam draf yang diterima redaksi, belum ada rincian spesifik soal jenis jasa yang termasuk dalam objek barang kena pajak baru tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *