Dijadikan Alat Korupsi, DPD RI Desak Pemerintah Cabut Nota Kesepakatan Pengusutan Dana Desa

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID – Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto mendesak pemerintah agar mencabut nota kesepakatan atau memorandum of understanding (MoU) tentang pengusutan korupsi dana desa. MoU tersebut dinilai menjadi tameng para koruptor dana desa agar bisa bebas dari jeratan hukum.

“Kehadiran MoU itu menjadi berkah bagi para koruptor dana desa. Banyak pelaku korupsi di desa-desa lolos dari jeratan hukum akibat MoU tersebut,” kata Abraham di Jakarta, Rabu, 30 Juni 2021.

Ia mencermati isi MoU yang menugaskan Inspektorat Daerah menjadi pemeriksa awal sekaligus pelaksana audit penggunaan dana desa itu justru menjadi celah melindungi Kepala Desa (Kades) atau mantan Kades yang dilaporkan masyarakat. Dengan adanya kewenangan itu, para koruptor kerjasama atau bisa kongkalikong dengan oknum aparat Inspektorat Daerah. Caranya, adalah memanipulasi hasil audit sehingga jenis pelanggaran yang dilakukan hanya pelanggaran administrasi, sehingga total dana yang dikorupsi tidak lebih dari Rp100 juta.

“Dengan kerugiaan negara di bawah Rp100 juta, para koruptor mudah saja mengganti uang kerugiaan. Setelah uang diganti, mereka bisa lolos dari jeratan hukum. Apalagi jenis pelanggaran sedemikian rupa dimanipulasi sehingga menjadi pelanggaran administrasi,” jelas senator asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini.

Dari laporan masyarakat, dia mendapatkan Inspektorat Daerah berkepentingan melindungi Kades atau mantan Kades yang dilaporkan. Mereka bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) di daerah. Alasannya, mereka adalah atasan langsung dari Kades yang dilaporkan. Artinya kata Abraham, jika Kades bermasalah, mereka juga harus bertanggung jawab. Karena itu, mereka berusaha bersama-sama untuk menutupi Kades atau mantan Kades yang dilaporkan tersebut.

“Ini banyak terjadi di Dapil saya di NTT. Banyak koruptor dana desa lolos dari jeratan hukum karena kerjasama oknum BPMD dan Inspektorat Daerah. Itu akibat MoU yang menugaskan Inspektorat sebagai pemeriksa awal jika ada temuan penyimpangan dana desa,” tambah Abraham.

Dari laporan masyarakat, dia juga mendapatkan oknum kejaksaan atau kepolisian menjadikan laporan dana desa sebagai ladang peras dan ATM di daerah. Pemerasan dimulai dari Kades atau mantan Kades yang dilaporkan hingga BPMD dan Inspektorat. Dengan berbagai modus teror dilakukan agar sang calon koruptor bisa setor ke oknum penegak hukum itu.

“Teror dari penegak hukum membuat Inspektorat, BPMD dan Kepala Desa kersajama. Alhasil, mereka sama-sama menutupi praktik kotor yang sudah dilakukan dan membayar sejumlah uang ke oknum penegak hukum itu. Jika tidak disetor, kasus akan lanjut,” ungkap Abraham yang juga Ketua Kadin Provinsi NTT.

Karena itu, dia meminta nota kesepaktan itu dicabut karena akan melanggengkan praktik korupsi di desa. Akibat kehadiran nota itu, masyarakat yang mencari keadilan menjadi kecewa karena banyak laporan berujung sebatas pelanggaran administrasi.

Sebelumnya, bulan Februari 2018 silam, Kemendagri, Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung) menekan perjanjian MoU kerja sama soal penanganan laporan masyarakat atas dugaan korupsi di pemerintah daerah, termasuk terkait dana desa. Perjanjian itu mengenai koordinasi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dengan penegak hukum dalam menangani laporan atau pengaduan yang berindikasi tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah. Isi MoU mengatur, APIP atau Inspektorat Jenderal/Daerah dapat menentukan suatu laporan berindikasi korupsi atau kesalahan administrasi atau pidana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *