Lunturnya Nasionalisme Milenial

oleh
oleh

Oleh Zainal Bintang

Tradisi memperingati kemerdekaan Republik Indonesia selalu dimeriahkan dinamika narasi simbolik patriotik, penggetar semangat pantang mundur dan rela berkorban apa saja untuk nusa dan bangsa.

Namun ada catatan berbeda selama era reformasi ditandai melemahnya pelan – pelan narasi nasionalisme di kalangan generasi muda yang lebih dikenal dengan sebutan milenial.

Milenium adalah bilangan untuk tiap jangka waktu seribu tahun dalam kalender. Istilah alaf yang berasal dari bahasa Arab banyak dipakai di Malaysia. Tahun 2000 disebut sebagai awal dari alaf baru dalam memasuki alaf ketiga (tahun 2000 sampai tahun 2999).

Setidaknya ada tiga hal yang mendorong terjadinya alienasi antara milenial dengan pemimpin bangsa dewasa ini.

Sebutlah, pertama, arus deras globalisasi di semua sektor yang berimplikasi kepada ketahanan peradaban; kedua, keterhubungan dengan dunia luar melalui kemudahan transportasi antar bangsa; dan ketiga penetrasi teknologi, informasi dan komunikasi. Integrasi ketiga unsur pendorong itu membuat generasi milineal lebih leluasa memilih ruang kebebasan berekspresi. Pada saat yang sama terjadi penyempitan ruang yang disediakan negara.

Pemantik utama membuat milenial kehilangan kepercayaan dan rasa hormat terhadap elit pemimpin bangsa dewasa ini, akibat kemerosotan moral pemimpin politik sekaligus sebagai pemimpin bangsa, karena terlibat terus menerus kasus korupsi dan perbuatan tidak terpuji lainnya.

Kecemasan terhadap melemahnya rasa nasionalisme milenial belakangan ini mengalami eskalasi dari tahun ke tahun sejak memasuki era reformasi 1998. Jejak korupsi pejabat negara dari tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif  tidak bisa disembunyikan. Generasi senior yang seharusnya jadi panutan gagal mengendalikan diri dari korupsi.

Pertanyaannya, dari manakah sumber mata air  contoh tauladan bagi milenial untuk merawat cinta tanah air dan nasionalisme? Sejak 2004 hingga 2020, Ada 274 Anggota DPR-DPRD Jadi Tersangka KPK.

Begini uraiannya: Anggota DPR dan DPRD 274 orang ; Kepala Kementerian/Lembaga 28 orang; Duta Besar 4 orang; Komisioner 7 orang;  Gubernur 21 orang;  Walikota/Wakil, Bupati/Wakil;122 orang; ASN eselon 1,2 dan 3 : 230 orang; Hakim 22 orang; Jaksa 10; orang. Polisi; 2 orang. Pengacara; 12 orang. Swasta; 308 orang. Korporasi; 6 perusahaan. Disampaikan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam webinar pembekalan Cakada Provinsi Sulawesi Utara dan NTB di YouTube Kanal KPK, Kamis (5/11/2020).

Merayakan ulang tahun kemerdekaan hari ini, pada diri milenial, terus terang, kurang terpancar sensitivitas melalui teriakan – teriakan simbolik patriotik.

Mereka beralih dan telah menemukan sebuah ruang ekspresi baru yang lebih leluasa, nyata dan bebas. Bahkan dianggap lebih jujur, menyentuh dan bersahabat, yaitu dunia media sosial (medsos) dengan varian – variannya seperti facebook, twitter, whatsapp, instagram, youtube, google dan tiktok!

Jejak praktik korupsi  yang masif di era reformasi yang melibatkan banyak  pejabat negara, membuat milenial kehilangan kepercayaan. Rasa homat melemah. Role model tokoh panutan moralitas pupus sudah.

Meskipun ada pemisahan cabang kekuasaan secara formal berdasarkan teori Montesquieu yang dikenal dengan “trias politika”, faktanya model koalisi transaksional antar partai politik dengan pemerintah, tetap saja mendorong terjadinya praktik penumpukan kekuasaan terselubung yang dikenal dengan “kuasa kolektif”.

Praktik kolektif kekuasaan di satu tangan menghilangkan kontrol dan memudahkan penyelewengan. Persis dengan apa yang dikatakan Lord Acton (1833-1902): “Power Tends to Corrupt. Absolute Power Corrupts Absolutely” (“Kekuasaan Itu Cenderung Korup. Kekuasaan Mutlak, Korupsinya Juga Mutlak”).

Inilah situasi dan kondisi anomali yang dihadapi bangsa Indonesia hari ini di dalam memasuki  perayaan ulang tahun kemerdekaan yang ke -76. Milenial ada dihadapan pertunjukan akrobatik korupsi para pejabat publik itu. Dilakukan secara telanjang dan terang – terangan di depan mata milenial  tanpa rasa malu. Apalagi meneysal.

Tak terhindarkan timbulnya tembok pemisah sarat pandangan miring mileneal kepada pejabat publik. Ini ironi reformasi. Dan tragedi proklamasi. Masifnya perilaku nista pejabat publik, dari rumpun eksekutif, legislatif dan yudikatif,  yang dengan suka cita melalukan praktik korupsi menguras uang negara yang notabene adalah uang rakyat: Melukai hati bangsa.

Menarik membaca buku yang berjdul “Nasionalisme  ala  Milenial:  Sebuah  Disrupsi?” yang diterbitkan bulan Februari 2021 oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Bunga rampai ini berisi beragam pandangan penulis tentang bagaimana generasi milenial Indonesia memaknai kembali nasionalismenya.

Lingkup buku ini mencakup 12 artikel yang dapat dikelompokkan ke dalam lima topik, yaitu pendefinisian pemuda milenial; pembentukan identitas milenial; ekspresi nasionalisme milenial; pendidikan, pemuda, dan bahasa generasi milenial; serta kewargaan milenial.

Ada potongan teks yang tertulis begini : “Seperti  yang  diilustrasikan  oleh  para  penulis  dalam  bunga  rampai  ini, Indonesia memang sedang dalam  masa transisi, setidaknya terkait  dengan  tiga  hal, yaitu atmosfer politik yang  lebih  bebas  dan  terbuka,  jumlah  populasi  generasi  muda  yang  mencapai  puncaknya, serta  ketersediaan  teknologi  digital  yang  berkembang  sangat  cepat. 

Jika  generasi  muda  pada  awal  abad ke-20  juga  memperjuangkan  kemerdekaan,  pertanyaannya  kemudian,  ke  mana  dan  bagaimana  generasi  milenial  abad  ke-21 membawa Indonesia?”

Hari – hari ini ada acara yang rutin berulang – ulang disiarkan di semua televisi nasional yang memancar  ke seluruh Indonesia. Menampilkan tontonan video rakaman  pimpinan lembaga legislatif.

Mereka bernyanyi bersama. Beraksi bersama. Membawakan lagu “Berkibarlah Benderaku”. Narasi simbolik patriotik yang dilantunkan terlihat seperti ekspressi yang dipaksa dan kering. Tidak  meninggalkan pesan apa – apa.

Bagi milenial pada umumnya, jelas tontonan tersebut tidak menarik. Atraksi itu dalam hati mereka sangat kalah jauh dengan acara K-Pop dari Korea. Tetap kalah menyentuh dibanding drama remaja patah hati dalam berbagai film Drakor (Drama Korea). Film itu leluasa mereka tonton.

Melalu gadget di kamar tidur, di ruang tamu bahkan di kamar mandi. Sambil bercengkerama dengan teman semilienialnya.

Paska Pemilu 2019 situasi kondisi bangsa Indonesia memang telah carut marut. Serangan Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia (seluruh dunia) awal 2020 yang berkelindan dengan residu konflik kontestasi Pemilu, membelah dua masyarakat sampai hari ini.

Menimbulkan banyak persoalan laten terkait dengan upaya pemerintah menjaga stabilitas dan keseimbangan, yang dinamis terus menerus, menggoyang persatuan nasional yang melahirkan sejumlah kejomplangan tatanan tidak terduga dan juga nyaris tidak tertangani.

Di posisi inilah Indonesia mengalami problem besar nasionalisme menghadapi ulang tahun kemerdekaan.

Erosi korupsi, invasi media sosial, kekacauan fundamental ekonomi, telah menjadi pandemi tersendiri yang menggerus kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah menangani mitigasi dengan baik penyelamatan rakyat.

Sekalipun faktanya, pejabat pemerintah memang terlihat kerja keras. Presiden hampir tiap hari mengeluarkan perintah. Sekalipun karenanya, tidak jarang paradoks dengan perintah sebelumnya dan silang sengkarut dengan implementasi kinerja menteri di lapangan.

Kepingan puisi patriotis Chairil Anwar, “Karawang Bekasi” entah mengapa, terasa pahit. Serasa kehilangan kedalaman marwah magis yang menyayat.

Telah tersayat bias nasionalisme yang kehilangan bentuk saat ini: “…Kami tidak bisa lagi berkata. Kaulah sekarang yang berkata. Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi. Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak. Kenang, kenanglah…kami…”

Di ujung subuh yang dingin menjelang fajar menyingsing, saya menerima banyak pesan WhatsApp masuk ke dalam HP saya. Anehnya, narasinya sama semua. Singkat padat. Mengutip sampul buku kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono. Pendek banget: Dukamu Abadi!

Saya istighfar panjang, mengucapkan  Astagfirullah  3 X sambil berbisik kepada diri sendiri : “Dirgahayu Bangsaku. Selamat HUT Kemerdekaan ke – 76”. (Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya).

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *