JAKARTA, – Mengingat banyak korban kekerasan seksual makin meningkat, khususnya terkait relasi kuasa, dalam keluarga, dan sebagainya, yang secara pidana tidak tertangani dengan baik, maka Baleg DPR RI berjanji RUU PKS (Penghapsuan Kekerasan Seksual), yang berubah menjadi TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) akan diselsaikan pada masa siding tahun 2021 ini.
“Kini Baleg sedang merumuskan dan merapikan pasal-pasal yang dinilai tumpeng-tindih dengan pasal-pasal di KUHP, dan atura lainnya, karena RUU ini urgen, maka akan diselesaikan pada masa sidang tahun ini,” tegas anggota Baleg DPR RI dari F-Golkar Christina Aryani.
Hal itu disampaikan Christina dalam forum legislasi ‘”Membedah Draf Terkini RUU PKS” bersama anggota Baleg DPR RI F-PKB Neng Eem Marhamah, dan Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (7/9/2021).
Menurut Christina Baleg sudah melakukan rapat lima kali untuk merumuskan draft-draft RUU TPKS tersebut, dan terakhir pada 30 Agustus lalu, menerima masukan dari seluruh fraksi DPR RI. Sehingga, pasal-pasal yang semula ada 128, lalu menjadi 85 dan terkahir ada 43 pasal, semua masih akan berubah.
Selanjutnya kata Christina, draft hasil rumusan RUU TPKS tersebut akan dibawa ke Panja DPR RI, agar tidak terjadi duplikasi hukum terkait TPKS dengan KUHP dan UU yang lain.
“Kami jelas mendukung RUU TPKS ini, karena kekerasan seksual itu makin meningkat, terjadi dimana-mana dan kapan saja. Jadi, kita lagi mapping duplikasi hukum itu. Hanya saja jangan dijadikan panggung politik,” ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Neng Eem Marhamah, jika saat ini masih terjadi perbedaan persesi terkait TPKS tersebut. “Tapi, Baleg yakin RUU TPKS ini akan selesai pada masa sidang ini,” tambanya.
Mariana Amirudin mengatakan jika RUU ini merupakan RUU yang mempunyai kekhususan atau lex spesialis. Berbeda dengan pasal-pasal pidana yang ada di KUHP. Dimana kasus kekerasan seksual ini tak cukup hanya dilihat dari peristiwanya.
“Bahwa kekerasan seksual ini memiliki definisi turunanya sendiri, maka cakupan hukumannya juga sendiri. Sebab, jika, definisinya atau persepsinya berbeda di antara penegak hukum, maka sanksi pidana yang dijatuhkan akan berbeda pula. Jadi, ini bukan masalah tumpeng-tindih,” ungkapnya.