JAKARTA,REPORTER.ID – Implememtasi nilai-nilai Pancasila dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara itu dibutuhkam dua pola: yaitu pendidikan dan keteladanan. Sebab, antara nilai folosofis Pancasila itu belum dipahami dengan benar sehingga sering terjadi perbedaan antara perkataan dan perbuatan.
Demikian disampaikan Wakil Ketua MPR RI H. Jazilul Fawaid dalam dialektika demokrasi ‘Memperkokoh Pancasila Di Tengah Kehidupan Masyarakat’ bersama Antonius Benny Susetyo (Staf Khusus Dewan Pemgarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP) dan anggota DPD/MPR RI Agustin Teras Narang di Gedung MPR RI Senayan Jakarta, Senin (20/9/2021).
Lebih lanjut Jazilul Fawaid menilai jika lima sila Pancasila tersebut tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Sehingga kelimanya menjadi landasan bagi bangsa Indonesia. Baik untuk sosial politik, ekonomi, pendidikan, hukum, demokrasi, HAM dan sebagainya. “Jadi, tak perlu lagi dipertentangkan secara konseptual,” ujarnya.
Hanya saja di tengah masyarakat sering terjadi ketidaksingkronan, tidak nyambung antara cita-cita dan realitas masyarakat. Ekonomi misalnya, jika merujuk pada pasal 33 UUD NRI 1945, maka jauh dari harapan. Karenanya, Pancasila itu harus dipahami dan diamalkan. Khususnya oleh elit politik dan pemerintah dari pusat hingga daerah.
Dengan demikian, Waketum DPP PKB itu berharap BPIP bisa merumuskan dan menjawab semua produk kebijakan dari pendidikan dan keteoadanan tersebut. “Kalau hanya jargon, maka akan menjadi olok-olokan masyarakat. Bahwa kita ingin Pancasila itu menjadi ruh semua aspek kehidupan,” ungkapnya.
Romo Benny menilai persoalannya Pancasila itu belum menjadi rul model dalam kehidupan sehari-hari, akibat digerogoti kapitalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia menyontohkan Bung Hatta, yang saat menjadi Wapres saja tak mampu membeli sepatu baru, karena lebih mementingkan rakyat, bangsa dan negaranya. “Itulah rul model Pancasila.yang diamalkan dan menjadi teladan untuk keadilan dan kemanusiaan,” jelasnya.
Faktanya kini kata Benny, kehidupan ini sudah banyak dipenuhi kebohongan, fitnah, hoaks, korupsi dan sebagainya. Mengapa? Karena Pancasila itu belum menjadi rasa. “Kalau menjadi rasa, maka kebijakan publik yang dibuat tak akan memcederai rakyat. Ini tanggungjawab semua termasuk media, yang harus membangun kesadaran kritis untuk keadaban ini. Bukan hanya BPIP,” tambah Benny.
Menurut dia, ukuran Pancasilais itu sederhana. Bahwa siapa saja yang kerja keras untuk kesejahteraan rakyat dan kemanusiaan itu sudah cukup. Ke depan bagaimana Pancaaila itu menjadi etos kerja, bukan hanya pengetahuan. Seperti dicontohkan oleh Bung Karno, Bung Hatta, KH. Hasyim Asy’ari, dan founding fathers yang lain.
Kondisi saat ini salah satunya akibat demokrasi yang bebas, tapi rakyatnya belum siap, pendidikan masih rendah. Alhasil kata.Benny, biaya politiknya mahal. Ekonomi yang dijalankan kapitalis, yang seharusnya membangun ekonomi koperasi yang didirikan oleh Bung Hatta.
Nah lanjut Benny, di era digital ini saatnya mengembalikan industri kecil yang dilindungi oleh negara, karena produsen dan konsumen bisa langsung melakukan jual-beli. “Problemnya, karakter bangsa ini tidak bangga dengan produksinya sendiri. Itulah hipokrit, sok luar negeri. Ini kembali ke elit politiknya, dengan membuat regulasi yang Pancasilais, adil dan untuk kesejahteraan rakyat,” kata Benny.
Sementara itu, Teras Narang berharap sosialisasi 4 Pilar MPR RI harus terus menerus dilakukan. Tentu dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dimana sekarang ini menuju era industri 4.0. “Pancasila, UUD NRI 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI ini harus terus dirawat bersama,” ungkapnya.