JAKARTA, REPORTER.ID – Komisi X DPR meminta Kemendikbudristek menunda pengumuman hasil seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), karena ada problematika yang sangat pelik. Permintaan penundaan ini juga karena adanya masukan terkait pelaksanaan seleksi PPPK tahap pertama yang bermasalah di daerah. Di antaranya soal ujian dan standar kompetensi yang tidak sesuai dengan kemampuan guru di daerah. ‘’Hal ini menyebabka banyak peserta guru honorer yang tidak lolos passing grade,’’ kata anggota Komisi X DPR dari Dapil Papua Barat, Robert Joppi Kardinal kepada wartawan, Sabtu (25/9) siang.
Ia mencontohkan, Dinas Kabupaten Langkat, Sumatera Utara misalnya, jumlah guru yang mendaftar sebagai peserta guru PPPK sebesar 1.678 orang, namun yang lolos passing grade hanya 18 orang. Kemudian Kabupaten Wonosobo, dari 1.311 peserta, yang lolos hanya 170 orang. Begitu pula dengan Kabupaten Tegal, dari 2.284 orang peserta, yang lolos hanya 87 orang.
Robert mengatakan, Komisi X DPR telah menerima keluhan dan masukan dari banyak pihak yang diwakili Kabupaten Wonosobo dan forum guru yang hadir dalam rapat pada pekan lalu. Dalam catatan Komisi X DPR, setidaknya ada lima masukan dan keluhan yang disampaikan peserta PPPK di daerah.
Pertama, proses seleksi PPPK mendesak dievaluasi karena dalam pelaksanaanya terjadi kesimpangsiuran standar prosedur terkait jadwal dan perlengkapan yang dikeluarkan oleh pelaksana pusat. Kondisi ini berakibat banyak peserta tidak dapat mengikuti ujian seleksi PPPK. Selain itu, ada perbedaan perlakuan terhadap peserta ujian sebagai akibat dari kebijakan yang tidak konsisten.
Kedua, kisi-kisi yang dikeluarkan Kemendikbud RI melalui regulasi Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Reformasi dan Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 9 Tahun 2021 tentang pengadaan PPPK untuk jabatan fungsional, sangat jauh dari materi soal yang diujikan dalam seleksi PPPK.
Ketiga, soal homogen terutama di kompetensi teknis yang diujikan ke peserta dengan latar belakang pendidikan yang berbeda, membuat peserta dari jenjang SD, guru kelas mengalami kesulitan menjawab soal. Keempat, rasio tingkat kesulitan soal dengan jumlah soal 100 dengan durasi waktu 120 menit sangat jauh dari harapan para guru peserta PPPK.
‘’Terutama untuk soal-soal mengenai pendekatan high order thinking skill maupun membuat waktu untuk penalaran. Model soal seperti ini belum familiar untuk peserta terutama peserta ujian dengan usia guru tertentu,’’ ujar Robert Kardinal.
Kelima, rentang nilai ambang batas passing grade 260-330 yang ditetapkan Kemenpan RB melalui Keputusan Menpan RB Nomor 1.127 Tahun 2021 tentang Ambang Batas Seleksi Kompetensi Pengadaan PPPK untuk jabatan fungsional guru, terlalu tinggi dan tidak memperhatikan aspek peserta ujian yang terdiri dari guru dan tenaga honorer yang umumnya sudah lanjut usia. Dan mereka telah mengabdi lebih dari 18 tahun, bahkan ada yang 25 tahun.
Politisi Golkar ini menanyakan, lalu bagaimana dengan problematika daerah-daerah terpencil dan daerah-daerah yang ada di Kawasan Timur Indonesia? Faktanya, dari 506.247 formasi yang tersedia, hanya 326.476 formasi yang memiliki pelamar. Artinya, ada sekitar 179.771 formasi yang kosong.
Menurut dia, formasi yang kosong tersebut kebanyakan berasal dari wilayah-wilayah terpencil dan Kawasan Timur Indonesia seperti Nias Utara, Halmahera Utara, Barito Selatan, Timor Tengah Selatan, Halmahera Tengah, Maluku Barat Daya, Halmahera Barat dan Selatan. Kemudian, Nias, Maluku Tengah, Pulang Pisau, Barito Timor, Barito Timur, Lombok Barat, Kutai Barat, Halmahera Timur, Sangihe dan Tanimbar.
‘’Tercatat, lima provinsi dengan persentase sisa formasi terbanyak adalah Papua (72 persen), Papua Barat (68 persen), Maluku Utara (61 persen), Maluku (58 persen), dan Kalimantan Tengah (54 persen). Sementara, lima provinsi dengan persentase sisa formasi terendah adalah Sumatera Barat (17 persen), DI Yogyakarta (19 persen), DKI Jakarta (22 persen), Jawa Tengah (27 persen), serta Bangka Belitung (28 persen). Hal ini tentu harus di fikirkan kembali.’’ Pungkas Robert Kardinal. (HPS)