Oleh : Ketua MPR, Bambang Soesatyo
Mengawali forum diskusi Focus Group Discussion (FGD) pada hari ini, marilah kita bermunajat kepada Allah Subhanhu Wata’ala, Tuhan Yang Maha Esa, seraya bersyukur atas segala nikmat dan karunia yang telah dianugerahkan kepada kita semua, sehingga dapat hadir pada acara FGD siang hari ini, yang pada kesempatan ini mengangkat tema “Revitalisasi Lembaga MPR”.
Sebagaimana kita ketahui, dinamika kehidupan kebangsaan akhir-akhir ini telah menghadirkan diskursus publik mengenai urgensi dihadirkannya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan.
Pada prinsipnya, PPHN perlu dirumuskan untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional, mewujudkan keselarasan dan sinergi pembangunan pusat dan daerah, serta menghindarkan potensi pemborosan atau in-efisiensi pengelolaan anggaran negara yang disebabkan adanya perbedaan orientasi dan prioritas pembangunan.
Kehadiran PPHN ini meniscayakan bahwa visi kebangsaan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, adalah sesuatu yang harus 3 diperjuangkan, dan sarana untuk memperjuangkannya adalah melalui pembangunan. Hakikat pembangunan adalah proses kolektif menuju kemajuan yang membutuhkan pedoman atau haluan, agar seluruh pemangku kepentingan mempunyai persepsi dan perspektif yang sama.
Kesamaaan pandangan ini penting, mengingat Indonesia memiliki tingkat heterogenitas yang luar biasa dari berbagai sudut pandang, termasuk di dalamnya pandangan politik. Dengan segala capaian yang telah kita raih selama ini, kita perlu menyadari bahwa usaha pembangunan sungguh merupakan perjalanan panjang dan terjal.
Dalam melintasi medan pembangunan yang panjang dan terjal itu, kita perlu menjaga kesinambungan pembangunan berlandaskan visi konstitusi, yang memberi prinsip dan haluan direktif berjangka panjang, tanpa harus kehilangan fleksibilitas untuk dapat merespon ancaman dan perkembangan yang terus berubah.
Dalam alam pemikiran pendiri bangsa, usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan visi kebangsaan dan tujuan nasionalnya, haruslah bersandar pada tiga konsensus 4 fundamental : Pancasila sebagai falsafah/norma dasar, Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar, dan Haluan Negara sebagai kebijakan dasar.
Bila Pancasila mengandung prinsip-prinsip filosofis, Konstitusi mengandung prinsip-prinsip normatif, maka Haluan Negara mengandung prinsip-prinsip direktif (directive principles). Nilai-nilai filosofis Pancasila bersifat abstrak. Pasal-pasal Konstitusi juga kebanyakan mengandung normanorma besar yang tidak memberikan arahan bagaimana cara pelembagaan dan pelaksanaannya.
Oleh karena itu, diperlukan suatu kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan dasar tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi tersebut ke dalam berbagai pranata publik, yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan secara terpimpin, terencana, dan terpadu.
Sebagai prinsip direktif, haluan negara itu juga harus menjadi pedoman dalam pembuatan perundang-undangan. 5 Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, Diskursus mengenai urgensi menghadirkan PPHN tersebut berlanjut pada diskusi mengenai substansi dan bentuk hukum PPHN, di mana berdasarkan laporan Badan Pengkajian MPR, bentuk hukum yang dianggap paling ideal adalah dalam bentuk Ketetapan MPR (dengan tanpa menafikkan adanya pandangan berbeda dari 3 Fraksi di MPR).
Mengapa Ketetapan MPR dianggap bentuk hukum yang paling ideal? Pertama, bentuk hukum penetapan PPHN sebaiknya bukan Undang-Undang karena sebagai haluan negara, PPHN harus mempunyai legal standing yang kuat. Tidak dapat kita bayangkan jika sebuah haluan negara diatur dalam bentuk Undang-Undang, yang masih mungkin “di-terpedo” dengan PERPPU, atau diajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi.
Kedua, bentuk hukum penetapan PPHN juga sebaiknya tidak diatur dalam Konstitusi, karena PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik, dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat. Mekanisme 6 perubahan terhadap Ketetapan MPR tentunya akan lebih mudah dilakukan, dibandingkan jika PPHN diatur dalam Konstitusi. Di samping itu, karena PPHN bersifat direktif, tidak normatif seperti halnya Konstitusi, maka tentunya materi PPHN tidak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam Konstitusi.
Ketiga, dengan masih eksis-nya beberapa Ketetapan MPR dan MPRS yang dinyatakan masih berlaku, dan juga berlaku sebagai pedoman pembangunan, maka untuk mencegah potensi kerancuan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional di satu sisi, dan di sisi lain agar pelaksanaan pembangunan tersebut terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik, maka diperlukan penataan kembali berbagai ketentuan di atas ke dalam satu naskah haluan negara yang utuh dan komprehensif.
Gagasan mengenai pentingnya menghadirkan PPHN dan menuangkannya dalam bentuk Ketetapan MPR tentunya berimplikasi pada pemaknaan kembali peran kelembagaan MPR. Pemilihan Ketetapan MPR sebagai bentuk hukum PPHN memiliki konseksuensi untuk menghadirkan kembali 7 kewenangan MPR membentuk haluan negara, di mana konstruksi hukum yang dibangun adalah melalui amandemen terbatas terhadap Konstitusi.
Dalam konsepsi ini, amandemen terbatas ini setidaknya berkaitan erat dengan dua Pasal dalam Konstitusi, antara lain penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN; serta penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk dapat mengembalikan (menolak) RUU APBN yang diajukan oleh Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
Secara filosofis, PPHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis pada prinsip kedaulatan rakyat. Artinya rakyatlah, melalui wakilwakilnya, yang berwenang unutk merancang dan menetapkannya. Dan Lembaga MPR, yang beranggotakan seluruh Anggota DPR dan seluruh Anggota DPD, merupakan lembaga perwakilan terlengkap yang dapat merepresentasikan kedaulatan rakyat tersebut, karena dalam diri MPR itu tidak saja ada representasi rakyat Indonesia secara keseluruhan, tetapi juga ada representasi rakyat Indonesia di tiap-tiap daerah.
Dengan menghidupkan kembali Haluan Negara dalam bentuk PPHN, tidaklah berarti bahwa format dan isi haluan negara harus sama dan sebangun dengan GBHN versi terdahulu. Yang penting, secara substansial, hakuan negara tersebut harus mengandung kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan-arahan dasar (directive principles) yang bersifat ideologis dan strategis-teknokratis.
Begitu juga merevitalisasi MPR tidak berarti memberikan posisi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, namun melibatkan MPR sebagai “representasi terlengkap” dalam pengambilan kebijakan nasional melalui pelembagaan permusyawaratan tertinggi. Dalam rangka menghadirkan PPHN, kita bisa memadukan warisan-warisan positif dari berbagai rezim pemerintahan selama ini dengan tata kelola kepemimpinan baik Orde Lama, Orde Baru maupun Orde Reformasi yang visioner.
Penyusunan PPHN bisa dilakukan dengan memadukan pendekatan deduktif dan induktif. Pendekatan deduktif diperlukan terutama dalam menyusun prinsip-prinsip direktif yang bersifat ideologis. Pendekatan induktif diperlukan untuk menyusun prinsipprinsip direktif yang bersitaf strategis-teknokratis, dengan jalan menampung aspirasi arus bawah melalui mekanisme MUSREMBANG seperti yang dikembangkan di Era Reformasi ini.
Dengan cara seperti itu, rencana pembangunan akan selaras dengan nilai-nilai penuntun; dan di saat yang sama memiliki relevansi yang kuat dengan kebutuhan konkrit masyarakat di seluruh pelosok negeri. Apapun yang ideal di atas kertas, tidak akan terealisasi seperti yang dikehendaki jika kita tidak memiliki kapasitas untuk membuat rancangan dan pelaksanaan yang sesuai.
Saat ini kita membutuhkan hadirnya sumberdayasumberdaya manusia yang tidak hanya memiliki kapasitas argumentatif dan deliberatif yang kuat, tetapi juga memilki kepakaran yang sungguh-sungguh menguasai bidangnya, serta menyimpan keyakinan dan komitmen Pancasila di hatinya.
Inilah yang melatarbelakangi pemikiran dan wacana untuk melakukan revitalisasi tugas dan wewenang MPR. Meskipun hasil perubahan UUD 1945 sudah meniadakan wewenang MPR dalam membuat GBHN, namun banyak kalangan yang menghendaki perbaikan kembali tugas dan wewenang MPR dalam perencanaan pembangunan nasional melalui skenario “Model PPHN” seperti pernah berlaku dalam sistem perencanaan kita di masa lalu yaitu GBHN.
Wacana dan arus pemikiran ini semakin menguat setelah Pemilu Presiden/Wakil Presiden berlangsung pada Mei 2019 yang lalu. Dan oleh karena itulah isu penting ini diangkat dalam FGD kali ini untuk menghimpun berbagai arus pemikiran dan urun gagasan yang dapat memperkaya perspektif dan pilihan-pilihan sebagai masukan bagi perbaikan tata kelola kepemimpinan dan perencanaan pembangunan nasional kita.
Demikianlah beberapa hal yang dapat saya sampaikan sebagai pengantar sekaligus pemantik diskusi FGD pada hari ini. Saya berharap melalui kegiatan yang kita selenggarakan pada hari ini, dapat melahirkan gagasan dan pemikiran yang konstruktif, dan memperkaya perspektif kita, baik dalam kehidupan ketatanegaraan, maupun dalam tata kelola perencanaan pembangunan nasional kita. (Paparan ini disampaikan Ketua MPR, Bambang Soesatyo saat menjadi Keynote Spech dalam FGD MPR bertema Revitalisasi Lembaga MPR di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Lobi Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Senin 4 Oktober 2021)