Sahkan UU Kejaksaan, DPR RI Janji Tak Ada Lagi Istri Marahi Suaminya Dipenjara

oleh

JAKARTA, REPORTER.ID – Sidang Paripurna DPR RI pada Selasa (7/12/2021) sudah megesahkan RUU Kejaksaan menjadi UU. Kalangan DPR RI menegaskan dalam UU Kejaksaan yang baru ini, tak akan ada lagi ibu-ibu yang memarahi suaminya karena mabuk dan menelantarka keluarganya dipenara.

Seperti kasus ibu Valencya di Karawang, Jawa Barat, kasus Mbok Minah yang karena kelaparan mengambi singkong di lahan perusahaan swasta yang juga sampai ke pengdilan dan dituntut 1,5 tahun penjara. Melaui asas dan kewenangan oppportunitis justice ini, jaksa bisa memutus hukum pidana kasus tersebut dengan bebas.

“UU Kejaksaan yang baru ini sebagai kado untuk Kejagung RI. Karena dengan UU ini jaksa tak bisa lagi bermain-main memutuska hukum hanya berdasarkan bukti-bukti, tapi harus berdasarkan hak opportunity, hati Nurani dan kemnausiaan (humanty). Sehingga nanti tak ada lagi kasus Valencya, Mbok Minah di Banyumas Jawa Tengah, dan nenek-nenek yang lain di negeri ini,” tegas anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan.

Hal itu disampaikan politisi PDI-P itu dalam forum legislasi “RUU Kejaksaan, Mantapkan Peran dan Fungsi Korps Adhyaksa’ bersama anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil, dan Pakar Hukum Pidana Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar di gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (7/12/021).

Lebih lanjut Arteria menilai kalau UU ini fenomenal, revolusioner dan akan menjadi alat tempur hakim untuk menegakkan keadilan. Kewenangan yang diberikan kepada jaksa pun tidak mengganggu kewenangan yang ada pada hakim Mahkamah Agung (MA), Polri, KPK, MK dan lan-lain. Baik terkait dengan kewenangan penelusuran, pnuntutan, pegembalian asset, dan utamanya untuk penguatan system dan kelembagaan.

“UU ini juga mengakomodir kearifan lokal, dan dengan hak opportunity ini akan melahirkan restoratif justice. Perlu diketahui, bahwa penegakan hukum itu bukan festivalisasi hukum,” ungkapnya. Restorative justice adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka terhadap masalah korban.

Menurut Nasir Djamil, revisi UU No.16 taun 2014 tentang Kejaksaan ini lebih baik dibanding sebelumnya. Sebab, jaksa sebagai penuntut dan memutuskan perkara pidana juga dilindungi diri dan keluarganya dari berbagai ancaman yang mungkin akan terjadi.

Dimana dengan restoratif justice, ini jaksa bisa memberhentikan penuntutan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. Misalnya terkait dengan nenek-nenak yang berusia 70 tahun karena diputus bersalah diancam pidana beberapa tahun, padahal tidak sengaja melakukannya dan sebagainya. “Restoratif justice ini juga ada di MA, Polri dan lain-ain. Lebih dari itu akan diselesaikan melalui UU KUHP,” tambahnya.

Sementara itu Fickar Hadjar justru mempertanyakan sejauh mana peran Komisi Kejaksaan dan akuntabilitas jaksa dalam memutus perkara? “Tanpa akuntabilitas dan pengawasan oleh Komisi Kejaksaan, maka jaksa yang berkuasa dalam memutuskan perkara bisa sewenang-wenang. Apalagi ada pasal bisa diselesaikan dengan damai,” kata dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *