JAKARTA, REPORTER.ID – Masalah kejahatan atas tanah adalah masalah yang akan terus aktual dan dapat menimpa siapa dan di mana saja. Karena itu diperlukan hadirnya peran
negara untuk mengatasinya. Mengingat negara dibentuk
dikarenakan manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, maka diperlukan kehadiran negara yang kuat untuk menegakkan ketertiban tata kelola tanah. Jangan sampai negara kalah oleh mafia tanah.
Demikian Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah saat menjadi pembicara kunci dalam seminar nasional, Refleksi Akhir Tahun, “Memutus Ekosistem Dan Episentrum Mafia Tanah”. Hadir Sekjen MPR RI Ma.ruf Cahyono, John Pieris (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia/UKI), Menteri ATR Sofyan Jalil (virtual), dan lain-lain.
Lebih lanjut kata Ketua DPP PDIP itu, topik mafia tanah ini penting dan aktual karena tanah adalah medan sengketa yang berpotensi akan terus terjadi di masa depan. Mengapa? Karena laju pertambahan tanah cenderung stagnan sementara laju pertumbuhan penduduk terus meningkat. Oleh karena itu, benturan kepentingan dalam lalu lintas kehidupan manusia terhadap tanah sulit untuk dihindari.
Data Badan Pertanahan Nasional menyebutkan, terdapat 242 kasus mafia tanah sejak tahun 2018 hingga 2021. Informasi
tersebut ibarat fenomena puncak gunung es. Diduga masih banyak kasus mafia tanah yang tidak terdeteksi karena mafia
tanah bekerja secara terstruktur dan terorganisir dengan
rapi.
Menurut Basarah, beberapa kasus yang viral terakhir ini adalah aksi mafia tanah yang menimpa keluarga artis Nirina Zubir, keluarga mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal, Ibu Dhewi Rumiasa, istri dari Ajun Komisaris Besar Polisi Moch. Made Rumiasa dan berbagai kasus mafia tanah lainnya. “Jika anggota masyarakat dari kalangan tokoh atau elite masyarakat tersebut saja bisa menjadi korban mafia tanah, bagaimana dengan nasib rakyat biasa yang tidak punya akses dan kemampuan berhadapan dengan mafia tanah,” ujarnya.
Dengan demikian kata dia, masalah kejahatan atas tanah adalah masalah yang akan terus aktual dan dapat menimpa siapa dan di mana saja. Oleh karena itu diperlukan hadirnya peran Negara untuk mengatasinya. Dalam teori pembentukan
negara, Thomas Hobbes mengatakan, negara dibentuk dikarenakan manusia adalah serigala bagi manusia lainnya
(homo homini lupus) sehingga diperlukan kehadiran negara
yang kuat untuk menegakkan ketertiban.
Oleh karena itu, para pendiri negara Indonesia mengamanatkan dalam Pembukaan UUD tahun 1945 agar membentuk suatu pemerintah negara Indonesia guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara harus memberi kepastian dan keadilan bagi warga negaranya agar tidak saling “memangsa” satu sama lain.
Kewajiban Negara untuk melindungi rakyatnya tersebut dapat dilihat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Disamping itu hak untuk mendapat perlindungan itu juga tertera dalam Pasal 28G ayat (1) Konstitusi kita bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan..”
Tanah merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia, karena setiap manusia membutuhkan tanah, baik itu sebagai
tempat tinggal maupun sebagai tempat memperoleh rejeki,
seperti menanam dan mengambil hasil ladang untuk penghidupan manusia. Bagi masyarakat Indonesia, tanah
bukan sekadar benda bernilai ekonomis, melainkan juga
berkaitan dengan leluhur, adat istiadat, kehormatan,
keberlangsungan hidup dan lain-lain.
Dengan demikian, semua kata Basarah, perlu melihat kembali bagaimana perspektif negara dalam hakikat pengaturan tanah. Munculnya hak menguasai tanah oleh negara merupakan perintah Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun NRI 1945, yang menyebutkan; “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat”.
Menurut Basarah, hak menguasai oleh negara itu sendiri merupakan pengejawantahan hak bangsa Indonesia
atas bumi, air dan ruang angkasa beserta segala isi
kekayaannya yang kemudian dilekatkan pada satu istilah bebagaimana yang dikenal dengan sebutan agraria.
Hak menguasai tanah oleh negara tersebutdipertegas secara eksplisit dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dimana disebutkan “Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD, bumi, air,
ruang angkasa dan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Tujuan utama dari adanya hak menguasai negara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) UUPA tersebut adalah untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan,
kemerdekaan dalam masyarakat Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur.
Atas dasar penguasaan negara atas tanah tersebut dan dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana disebutkan di atas, maka negara mempunyai wewenang untuk ;
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dengan kewenangan tersebut kata Basarah, negara hadir sebagai penjelmaan pemegang kedaulatan tertinggi untuk mencapai sebesar – besarnya kemakmuran rakyat yang salah satunya bersumber dari bumi. Negara kemudian melahirkan berbagai aturan mengenai bermacam-macam hak atas permukaan bumi atau yang dikenal dengan hak-hak atas tanah. Adapun hak-hak tersebut berupa hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk membangun, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain.
Atas dasar itu, negara kemudian hadir untuk mengatur dan menyelenggarakan ketertiban kepemilikan tanah warga negara yang berasal dari penguasaan tanah oleh negara.
Negara kemudian berupaya semaksimal mungkin melaksanakan kewajibannya melalui pembentukan
seperangkat kebijakan dan regulasi pertanahan yang betulbetul memberikan kepastian hukum, transparan dan
akuntabel agar dapat menutup celah kejahatan pertanahan.
Perbuatan mafia tanah ini masuk dalam kategori kejahatan. Dalam KUHP, beberapa delik pidana menjadi acuan
pemidanaan dalam kejahatan tanah, beberapa di antaranya:
– Pasal 167, “masuk dalam rumah, pekarangan secara melawan hukum.”
– Pasal 263, “membuat surat palsu yang dapat
menimbulkan sesuatu hak.”
– Pasal 266, “memasukkan keterangan palsu dalam suatu
akta otentik.”
– Pasal 385, “secara melawan hukum menjual, menukar atau membebani sesuatu hak tanah.”
Dengan demikian, sebenarnya hukum positif kita sebenarnya telah mengatur perbuatan pidana menyangkut kejahatan tanah. Hanya saja kata Basarah, pasal-pasal tersebut tidak akan dapat dikenakan begitu saja dengan mudah karena pada kenyataannya, mafia tanah bersekongkol dengan oknum-oknum di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah, oknum Notaris/PPAT hingga oknum aparat penegak hukum, hingga oknum di pengadilan.
Bahkan Menko Polhukam Mahfud MD menyebut mafia tanah sudah merusak tataran hukum. Tidak hanya di tingkat
penyidikan, tetapi juga ke ujung sistem peradilan, yaitu pengadilan. “Sehingga kerap kali konflik antara mafia tanah dengan rakyat adalah pertarungan antara yang kuat dan yang lemah. Apalagi jika kita melihat banyaknya konflik agraria di kawasan hutan dan perkebunan, kerap kali rakyat kecil, masyarakat adat harus berhadapan dengan korporasi
besar dengan kekuatan kapital yang tidak terbatas.
Dengan demikian, memutus ekosistem dan episentrum mafia tanah tentu harus dari hulunya. Jika hulunya tidak bisa ditembus oleh mafia, maka proses selanjutnya tidak akan bisa berjalan. Hulunya adalah bagaimana seluruh pemangku kepentingan di tingkat negara memiliki good will dan political will serta action untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi warga masyarakat pemilik tanah agar tidak menjadi mangsa para mafia tanah.
“Salah satu pangkal pokok masalah tanah adalah pada administrasi pertanahan. Upaya Kementerian ATR/BPN
yang hendak merevisi prosedur pendaftaran tanah patut
didukung. Misalnya melalui digitalisasi dokumen tanah serta
pembenahan peta pendaftaran tanah,” ungkapnya.
Penting juga dilakukan pengawasan dari organisasi internal
dan eksternal Notaris dan PPAT. Menurut Basarah, kepatuhan notaris dan PPAT terhadap regulasi demikian penting. Upaya ini bertujuan untuk menghindari praktik-praktik penyimpangan oleh berbagai pihak.
Disamping pendekatan preventif, diperlukan upaya represif.
Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak
pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement). Sudah barang tentu dalam upaya
ini yang berperan adalah pihak penegak hukum baik
Kepolisan, Kejaksaan, KPK RI maupun hakim di
lingkungan peradilan pidana.
Data menunjukkan terdapat sekitar 125 pegawai BPN terlibat mafia tanah. Ini jumlah yang baru terungkap. Mafia tanah ini ibarat orang buang angin, wujudnya tidak terlihat. Namun bisa dirasa aromanya. “Dalam kaitan ini, Presiden Jokowi, pada 22 September 2021 juga telah menegaskan komitmennya soal pemberantasan mafia tanah dan bertindak tegas terhadap siapapun yang membekingi mafia tanah,” jelas Basarah lagi.
Menindaklajuti hal itu, Polri telah membentuk Satuan Tugas
Anti-Mafia Tanah yang berkolaborasi dengan Kementerian
ATR/BPN. “Kita patut mendukung upaya yang sedang dilakukan Kapolri tersebut. Hal ini penting agar kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri akan terus
membaik. Namun, masyarakat masih perlu diberi kemudahan untuk melapor. Jangan seperti pameo yang berkembang di tengah masyarakat “lapor kehilangan
kambing, yang terjadi malah kehilangan sapinya. dan, kasih uang habis perkara,” pungkasnya.