JAKARTA,REPORTER.ID – Dalam menghadapi tantangan ke depan, tiga hal penting yang perlu menjadi p erhatian Nahdlatul Ulama (NU), yaitu ideologisasi, sinergi, dan berpikir global. Ketiganya perlu diwujudkan demi kebaikan NU di era Kebangkitan Kedua (an-Nahdlah ats-Tsaniyah).
Demikian disampaikan anggota Komite I DPD RI H. Hilmy Muhammad (Gus Hilmy) dalam perannya sebagai keynote speaker Webinar Alumni PCI NU Se-Dunia; Road to Muktamar Lampung dengan tema “NU Global; Berkhidmah Tanpa Batas” pada Kamis (16/12/2021) malam.
“Ideologisasi dengan memperbanyak kaderisasi, patut digalakkan kembali agar warga NU tahu arah perjuangan, visi, misi dan tujuan organisasi, kelebihan dan kekurangan, siapa lawan (dalam pengertian positif) dan siapa kawan,” jelas Senator asal D.I. Yogyakarta tersebut.
Menurut Gus Hilmy strateginya adalah memperbanyak pendidikan kader di setiap level organisasi. Seperti IPNU-IPPNU, Fatayat, Ansor-Banser, PMII, NU sendiri: PKNU-MKNU. Di sisi lain, pondok pesantren juga perlu memberikan materi khusus ke-NU-an.
Kedua, yang harus mendapat perhatian adalah soal sinergi. Sinergi semua komponen NU agar sesama kader saling mendukung dan tidak saling memotong demi mengupayakan maslahat NU “Sinergi yang dimaksud adalah sinergi antarpengurus, antarbanom, antarlembaga, atau pengurus dengan banom atau lembaga dengan banom dan lain sebagainya,” kata Gus Hilmy.
Sinergi ini, bagi Gus Hilmy, dapat diwujudkan dengan cara pengelolaan potensi jama’ah NU. Ini juga mengharuskan kita punya rumusan praktis tentang ukhuwah nahdliyyah sehingga dapat dengan mudah laksanakan, apa yang harus dilakukan sebagai kader NU di level masing-masing.
Ketiga adalah berpikir global. NU sudah sepatutnya bicara urusan global, bicara keluar, out of the box. Jangan hanya bicara NKRI dan Pancasila, tapi juga bicara tentang teknologi, informasi, dan kedokteran. Melalui apa? “Melalui peningkatan kualitas perguruan tinggi, rumah sakit, media dakwah, dan sarana komunikasi digital kita,” jelas alumni PCI Sudan dan Malaysia ini.
Yang terpenting dalam berorganisasi, menurut wakil Rais Syuriah PWNU DIY tersebut, adalah bagaimana semua anggota maju bersama-sama, berkembang bersama-sama, sejahtera bersama-sama. Jika ada satu atau dua orang yang maju sendiri, tujuan berorganisasi bisa dikatakan kurang berhasil alias gagal.
Untuk itu dia mengingatkan lima prinsip dasar sebagai landasan khidmah kader NU yang disampaikan oleh Allahuyarham K.H. Ali Maksum, yaitu (1) ats-Tsiqatu bi Nahdlatil Ulama, setiap warga NU harus mempercayai NU sebagai tuntunan hidup yang sesuai. (2) al-ma’rifatu bi NU, warga NU harus memahami NU secara keseluruhan. (3) al-amalu bi Ta’alimi NU, warga NU harus mengamalkan ajaran dan tuntunan NU. (4) al-Jihadu fi Sabili NU, berjuang dengan spirit dan dasar-dasar perjuangan ala NU. (5) ash-Shabru fi Sabili NU, sabar dalam ber-NU.
Webinar ini diikuti oleh PCI NU dari berbagai negara, di antaranya adalah Suriah, Turki, Mesir, Sudan, Lebanon, Tunisia, Libya, Maroko, Yordania, Yaman, Hongkong, Korea, Jepang, Malaysia, United Kingdom, dan Amerika.
Hadir pula tokoh-tokoh NU yang menyampaikan pandangannya, yaitu K.H. Taj Yasin Maimoen Zubair (Wakil Gubernur Jawa Tengah), Dr. H. Emil Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur), dan Dr. K.H. Afifuddin Dimyathi, M.A. (Katib Syuriah PBNU).
Kiai Afif mengingatkan bahwa hal penting dalam berkhidmah kepada NU adalah rabithah qolbiyah (Ikatan emosional).
“Dengan ikatan emosional, kita lebih mudah menyelesaikan berbagai persoalan. Buat apa berselisih di NU, toh manhaj sama, ajarannya sama, gurunya sama. Dengan ikatan emosional, kita akan lebih mudah berkorban. Dan dengan ikatan emosional, kita tidak mempermasalahkan siapa pun pemimpinnya, semua akan tetap berperan, berjuang bersama,” kata alumni PCI Mesir dan Sudan tersebut.
Sementara itu Gus Taj Yasin menyampaikan bahwa terkait Muktamar 34 mendatang di Lampung. “Apa yang terjadi dan menjadi keputusan adalah yang terbaik untuk Nahdlatul Ulama. Kita harus mempercayakan kepada guru-guru kita. Sebagai murid, semua yang berada di pucuk pimpinan NU hari ini adalah guru. Tugas kita kemudian adalah merenungkan bagaimana bentuk khidmah kita setelah Muktamar 34. Tidak perlu lagi memikirkan hasil dan polemik yang terjadi, tapi apa peran kita ke depan,” ujarnya.
Pernyataan tersebut diamini oleh Gus Emil Dardak. Menurutnya, bagi para santri, Muktamar bukan tentang bagaimana hasilnya nanti, tetapi bagaimana setelahnya. Menurutnya, adanya PCI NU di berbagai dunia, hal ini menandakan ruang khidmah NU itu sangat luas.
“Kehadiran dan keberadaan PCI ini menandakan adanya keterhubungan khidmah dari pelajar-pelajar Indonesia di berbagai negara. Tidak hanya bagi santri, tetapi juga yang berlatar belakang bukan santri,” tutur alumni PCI Jepang tersebut.