JAKARTA, REPORTER.ID- Kesenian wayang kulit di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa mulai digunakan untuk berdakwah penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga anggota Walisanga pada abad 16. Kini wayang kulit telah tersebar ke seluruh Indonesia bahkan dunia. Museum Wayang di Kota Tua Jakarta menyimpan koleksi 4846 wayang kulit dari berbagai daerah di Indonesia dan mancanegara antara lain Kamboja, Thailand dan Malaysia.
Kepala Satuan Pelayanan Museum Wayang Unit Pengelola Museum Seni Jakarta, Sumardi S.Sos mengungkapkan hal itu di kantornya atas pertanyaan Reporter.id, Rabu (23/2/2022). “Selain wayang kulit ada lagi jenis wayang lainnya seperti wayang klithik, wayang beber, wayang suket dan wayang golek. Namun yang paling banyak ya wayang kulit,” tambah Sumardi.
Jumlah koleksi Museum Wayang seluruhnya 6.863, termasuk perlengkapan pergelaran seperti layar, lampu blencong dan gamelan serta puluhan topeng. Dari seluruh koleksi Museum Wayang berarti wayang kulit mencapai 70,6 %.
Sumardi yang juga menjabat Ketua II Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) DKI Jakarta lebih lanjut menjelaskan, kesenian wayang kulit lebih muda dibandingkan wayang beber yang lahir pada zaman Majapahit tahun 1400-an atau awal abad 15.
Diakui oleh Sumardi yang bila mendalang menggunakam nama Ki Sumardi Kurdo, cerita wayang khususnya wayang kulit memang berpakem pada kitab Mahabarata dan Ramayana dari agama Hindu. Namun cerita wayang kulit kreasi Sunan Kalijaga pada zaman Walisanga telah disesuaikan dengan adat ketimuran Nusantara dan digunakan untuk media dakwah agama Islam.
Adanya tokoh punakawan Semar, Gareng dan Petruk serta Bagong juga kreasi Sunan Kalijaga. Sedang wayang beber kata Sumardi mengambil cerita Panji zaman kerajaan Jenggala (Singasari) dan Daha (Kediri) pada abad 13.
Satu bingkai wayang beber berisi 2 atau 3 adegan. Museum Wayang memiliki 17 set wayang beber dan hanya sebagian saja yang dipamerkan. Tokoh-tokoh cerita wayang beber antara lain Inu Kertapati atau Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana.
Sementara itu Surya Atmadja, putra dalang wayang kulit Betawi, Mardjoeki (1920 – 1992) juga mengakui tokoh Semar dan anak anaknya Gareng, Petruk dan Bagong tidak ada dalam pakem cerita Mahabarata. Sebab tokoh-tokoh itu karya Sunan Kalijaga. Semar artinya Sejatining Ma’rifat, kata Surya Atmadja yang sering dipanggil Suhu Djadja.
Menurutnya para punakawan tersebut adalah tokoh wayang yang terlahir dari paham Islam yang diciptakan Sunan Kalijaga. Semar menggambarkan seorang tokoh tasawuf yang telah mampu mencapai tingkat ma’rifat. Yaitu seorang tokoh yang telah mampu mengenal dirinya dan mengenal dzatnya sendiri yaitu yang menjadi Tuhannya.
“Sesuai yang dikatakan dalam sebuah Hadits Nabi. Man arrofa nafsahu Faqod arrofa Robbahu, Siapa yang tidak mengenal dirinya maka tidak akan mengenal Tuhannya,” ujarnya.
Kata Suhu Djadja (77), tokoh Semar digunakan untuk pergelaran penyebaran agama Islam. Sebab Semar tidak takut dewa ataupun bethara. Yang dia takuti hanyalah Sang Hyang Tunggal, Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah Subhanahu wata’ala. Semar juga menjadi pengasuh keluarga Pandawa dan keturunannya yang selalu mengikuti jalan yang lurus. (PRI).