Komite III DPD RI Susun Pandangan dan Pendapat Terhadap RUU TPKS

oleh

JAKARTA,  REPORTER.ID –  Komite III DPD RI susun Pandangan dan Pendapat DPD RI terhadap RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Komite III DPD RI berkewajiban untuk memastikan bahwa pengundangan RUU TPKS mampu mengatasi berbagai permasalahan terkait penanganan kekerasan seksual yang selama ini sangat lemah dan belum berperspektif pada perlindungan korban.

Demikian disampaikan Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni saat membuka rapat secara fisik dan virtual didampingi Wakil Ketua Komite III DPD RI Dedi Iskandar Batubara, Evi Apita Maya dan M Rakhman, Gedung DPD RI Komplek Parlemen Senayan Jakarta, Senin (21/3/2022).

Komnas Perempuan menyatakan sepanjang tahun 2011 sampai 2019 terdapat 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah personal dan rumah tangga maupun di ranah publik terhadap perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik berupa perkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan berbasis gender. Dari data tersebut, setiap tahun rata-rata terjadi 5.000 kasus kekerasan perempuan. Hal ini yang menjadi sorotan Komite III DPD RI sebagai alat kelengkapan DPD RI yang salah satu bidang tugasnya adalah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sangat berkepentingan atas RUU TPKS.

“Untuk itulah, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disusun. RUU ini hadir sebagai upaya untuk merekonstruksi pemahaman aparat/petugas terkait, termasuk masyarakat terhadap sudut pandang yang tepat perihal kekerasan seksual, yakni dari perspektif perlindungan hak asasi manusia,” kata Sylviana Murni, Senator DKI tersebut.

Pada rapat ini, perwakilan dari RAHIMA/Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-Hak Perempuan, yang juga Pendiri dan Pengasuh Majlis Ta’lim “Rahmah” Luluk Farida Muchtar memaparkan pandangan terhadap RUU TPKS lewat pendekatan restorative justice dan pandangan islam.

“Pandangan kami ada enam elemen kunci RUU TPKS yang harus ada. Pertama, sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan kasus-kasus yang tercatat di Indonesia. Kedua, pemidanaan perhatian khusus pada aspek perlindungan saksi korban yang rentan dilaporkan balik dengan pencemaran nama baik oleh pelaku. Ketiga, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan atau hukum acara khusus penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual. Keempat, pemulihan bagi korban, keluarga korban dan saksi. Kelima, pencegahan dan keenam, koordinasi dan pengawasan,” jelasnya.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera dan Pendiri Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menjelaskan tidak hanya sekedar memiliki RUU tapi bagaimana menciptakan RUU yang bisa memihak kepada korban. Karena itu, dibutuhkan pembentukan hukum yang mampu mengejar ketertinggalan, dan mendorong agenda anti kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Dibutuhkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mencakup pencegahan, penindakan, dan penanganan kekerasan seksual. Penolakan terhadap penciptaan negara yang bebas kekerasan seksual menunjukkan pandangan yang tidak progresif, bahkan mundur ke belakang, di mana perempuan dan anak tidak dianggap sebagai manusia utuh yang bermartabat,” ungkap Bivitri.

Komite III DPD RI melihat bahwa setiap orang tanpa terkecuali, pada asasnya berhak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, dan martabatnya; berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan dan berhak untuk tidak disiksa. Hak-hak sebagaimana tersebut diakui oleh negara sebagai hak konstitusional yang tercantum dalam UUD 1945. Oleh karena itu, sudah selayaknya negara menjamin pemenuhannya.

“RUU TPKS harus mampu mengantisipasi berbagai jenis kekerasan seksual yang tersebar di berbagai peraturan perundangan, selain itu Komite III DPD RI sependapat perlu percepatan pembentukan UU TPKS dan memastikan jaminan perlindungan korban dan keluarga, terakhir optimalisasi peraturan pemerintah daerah dalam pencegahan penanganan tindak pidana kekerasan seksual perlu diadopsi dalam pembentukan UU TPKS ini,” pungkas Ketua Komite III DPD RI.