INDEF Mendorong Keadilan Ekonomi dan Utang Melalui G20 Bali 2022

oleh

BALI, REPORTER.ID – Pada 2020, dunia dikejutkan dengan Pandemi Covid-19 yang mengganggu seluruh sektor dalam kehidupan. Pandemi telah menyebabkan terganggunya aktivitas dan mobilitas masyarakat yang berujung pada krisis dan ekonomi di berbagai negara. Berbagai cara telah dilakukan demi menangani dampak negatif pandemi terhadap perekonomian baik dengan upaya fiskal maupun moneter.

Pemulihan ekonomi pasca Covid-19 mendapat tantangan besar terutama dari peningkatan harga komoditas yang terus berlangsung sejak akhir 2021, peningkatan suku bunga acuan The Fed, lonjakan harga-harga yang terus terjadi, normalisasi kebijakan moneter, dan menumpuknya beban fiskal, khususnya utang.

Demikian disampaikan Dr. Tauhid Ahmad-Direktur Eksekutif INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) pada Seminar Internasional dan Side Event G20 di Bali, Kamis (14/7/2022). Seminar ini dibuka oleh Menteri Bappenas Suharso Monoarfa, dan Wakil Menteri Keuangan RI Suahasil Nazara, dan dihadiri oleh berbagai pembicara ternama internasional, termasuk perwakilan IMF, UNCTAD, Think-tank Internasional.

Dalam pandangan INDEF, gelontoran stimulus fiskal selama pandemi telah membuat lonjakan utang secara masif dan menyeluruh di berbagai negara, khususnya negara-negara berkembang. Tingkat utang global meningkat tajam di 2020. IMF’s Global Debt Database menunjukkan bahwa utang meningkat dari 28 persen ke 256 persen di 2020.

Sehingga, inflasi yang terus melambung memaksa suku bunga acuan The Fed untuk naik, membuat ongkos pembayaran utang semakin mahal. Hal ini menjadi ancaman besar terutama untuk negara-negara berpenghasilan menengah rendah dan negara-negara emerging market yang memiliki keterbatasan ruang fiskal, termasuk Indonesia.

Total utang luar negeri (total external debt stocks) dan bunga pinjaman jangka panjang di negara low and middle income melonjak hampir 100 persen dalam satu dekade dari 2010 ke 2020. Total external debt stocks low and middle income countries melonjak dari USD 4,360 miliar di 2010 ke USD 8,687 miliar di 2020.

Sementara itu bunga pinjaman jangka panjang dari USD 101 miliar di 2010 ke USD 207 miliar di 2020. Negara-negara low and middle income pasca covid-19 menghadapi tingkat utang sekaligus bunga yang tinggi, sementara itu kondisi fiskalnya terbatas.

Risiko utang luar negeri di negara low and middle income terus meningkat yang ditunjukkan dengan peningkatan angka indikator utang seperti external debt stocks to exports, external debt stocks to GNI, dan debt service to exports. Nilai indikator utang external debt stocks to exports, external debt stocks to GNI, dan debt service to exports untuk negara low and middle income terus menunjukkan peningkatan.

Di 2020 external debt stocks to exports adalah sebesar 123%, meningkat tajam dari 106% di 2019. Indikator external debt stocks to GNI meningkat dari 27% di 2019 ke 29% di negara low and middle income.

Sementara itu, debt service to exports meningkat dari 16% di 2019 ke 17% di 2020. Peningkatan utang di 2020 dibarengi dengan penurunan nilai nominal GNI sehingga meningkatkan risiko utang di negara-negara low and middle income. Negara-negara low and middle income dengan peningkatan risiko utang banyak tersebar di Afrika dan Asia.

Menurut data World Bank, negara-negara low and middle income dengan rasio debt to GNI lebih dari 100 persen di 2020 diantaranya adalah Mongolia, Panama, Lebanon, Montenegro, Zambia, Mauritius, Mozambique, Jamaica, Georgia, Bhutan, Cabo Verde, Kyrgyz Republic, Angola, Tunisia, Kazakhstan, dan Armenia.

Sementara itu berdasarkan sovereign debt vulnerability ranking (peringkat kerentanan utang negara) yang dikeluarkan Bloomberg tahun 2022, dengan menilai 4 aspek yaitu government bond yield, 5Y CDS Spread, Interest Expense, dan Government Debt, menunjukkan bahwa 10 negara paling rentan adalah El Savador, Ghana, Tunisia, Pakistan, Egypt, Kenya, Argentina, Ukraine, Bahrain, dan Namibia. Penilaian dilakukan dengan mengeluarkan negara Sri Lanka dan Lebanon yang telah resmi gagal membayar obligasinya.

Negara-negara low and middle income berutang pada China sebesar USD 170 miliar, Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) sebesar USD 204 miliar dan Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA) sebesar USD 177 miliar USD pada akhir tahun 2020. Bank Dunia dalam buku International Debt Statistics 2022 menunjukkan bahwa kebanyakan utang negara-negara low and middle income yang berasal dari China berhubungan dengan proyek infrastruktur dan operasi pada industri ekstraktif.

Negara-negara di sub-sahara Afrika menunjukkan peningkatan utang yang tajam terhadap China sejak 2018. Sementara itu di Asia Selatan, utang kepada China melonjak dari USD 4.7 miliar di 2011 ke USD 36.3 miliar di 2020. China menjadi pemberi pinjaman terbesar ke negara: Maldives, Pakistan, dan Sri Lanka.

Pengelolaan utang, transparansi utang, dan kerjasama internasional menjadi kunci penurunan risiko gagal bayar utang. Pengelolaan utang, transparansi utang, dan kerjasama internasional perlu dilakukan untuk membantu negara-negara low and middle income dari risiko gagal bayar utang.

Pengelolaan utang yang baik mempertimbangkan penggunaannya di sektor produktif, menjaga keseimbangan fiskal dan mendorong peningkatan kapasitas fiskal sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan lapangan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan.

Selain itu, reformasi struktural dalam bidang ekonomi dapat didorong terhadap negara-negara low and middle income untuk mendukung pengelolaan utang yang lebih baik.Transparansi utang dibutuhkan untuk memperkecil risiko gagal bayar.

Transparansi dapat dilakukan dengan membuat kerangka pencatatan, informasi dan transparansi utang publik, swasta dan juga state-owned enterprises sehingga seluruh resiko dan perkiraan dampak yang ditimbulkan dapat dimitigasi sedini mungkin. Kerjasama internasional baik bilateral dan multilateral dibutuhkan untuk memberi keringanan penangguhan pembayaran utang maupun negosiasi keringanan nilai imbal balik terhadap utang.

Peran G-20 melalui The Debt Service Suspension Initiative jilid 2 menjadi penting untuk membantu negara-negara low and middle income. Pada April 2020 G-20 meluncurkan program The Debt Service Suspension Initiative untuk membantu negara miskin dan rentan dari low and middle income untuk mengelola dampak buruk dari pandemi covid-19.

Program ini merupakan penangguhan sementara pembayaran utang kepada kreditur bilateral hingga Desember 2021. Program serupa dapat dilakukan kembali oleh G-20 dalam rangka mendukung negara-negara low and middle incom

Seminar Internasional dan Side Event G20 ini terdiri dari tiga sesi, dimana dua sesi pertama fokus membahas isu utang global, khususnya di negara-negara berkembang. Di sisi lain, sesi terakhir membahas terkait peran kerja sama multilateral, khususnya Selatan-Selatan dalam menyelesaikan permasalahan global, termasuk utang.

Seminar ini bertujuan untuk mendiskusikan urgensi keadilan utang dan ekonomi bagi negara-negara dunia, khususnya negara berkembang termasuk Indonesia.