JAKARTA, REPORTER.ID — Si Pitung yang sering disebut Robin Hood Betawi abad ke-19, adalah cerita nyata. Bahkan dari penelusuran tahun 1976 yang dilakukan Surya Atmadja putra dalang wayang kulit Betawi Ki Mardjoeki, bahwa leluhur Bang Pitung dari garis ayah berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Ini kesimpulan dari pernyataan beberapa orang yang berkompeten yang disampaikan kepada Reporter.id secara terpisah pekan terakhir Juli 2022.
Mereka masing masing Surya Atmadja atau Suhu Djadja, Sekretaris Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (Sekum LKB) Imron Hasbullah, budayawan Betawi Surya Atmadja dan Kartum Setiawan, Sarjana Sejarah dari Universitas Indonesia.

Menurut Surya Atmadja, leluhur Bang Pitung berasal dari Makasar, keturunan Sultan Goa tahun 1511 bernama Sultan Malikus Sahid.
Dituturkannya,.Sultan Malikus Sahid punya dua orang anak laki laki, yang pertama bernama Muhammad Bandan atau Syeikh Muhammad Bandan. Yang kedua bernama Muhammad Bakir.
Setelah ayahnya wafat, Syeikh Muhammad Bandan akan dinobatkan menjadi sultan, namun menolak karena lebih memilih menjadi ulama.
Maka. jabatan sultan diberikan kepada adiknya yaitu Muhammad Bakir, atau disebut juga Daeng Mangepe. Setelah menjadi sultan beliau memakai nama Sultan Hasanudin.
Pada tahun 1669 M kesultanan Goa di bawah pimpinan Sultan Hasanudin digempur habis oleh Belanda. Sultan Hasanudin gugur dalam pertempuran tersebut.
Syeikh Muhammad Bandan terpukul jiwanya. Namun tidak menyerah. Iapun menghimpun sisa sisa pasukan Sultan Hasanudin yang masih selamat guna mekakukan serangan balasan ke markas Belanda di Batavia.
Tahun 1670 M
Pasukan Syeikh Muhammad Bandan sampai di Batavia. Mereka mendirikan perkemahan di dekat pesisir Sunda Kelapa. Tak berapa lama kemudian mereka menyerang ke markas Belanda. Namun sayang mereka dapat dilumpuhkan oleh pasukan kompeni Belanda. Kemudian Syeikh Muhammad Bandan bergeser ke timur sampai di Marunda.
Kampung Bandan
Setelah itu bekas bumi perkemahan Syeikh Muhammad Bandan oleh orang-orang Betawi disebut Kampung Bandan.
Di Marunda atau Muara Sunda, Syeikh Muhammad Bandan mendirikan masjid kecil untuk ibadah sekaligus digunakan untuk konsolidasi kekuatan.
Beberapa bulan kemudian Muhammad Bandan bersama pasukannya menyerang kembali ke kemarkas kompeni Belanda, namun dapat dikalahkan musuhnya. Akhirnya Syeikh Muhammad Bandan dengan sisa pasukannya yang tinggal sedikit dengan perahu menyusuri Sungai Tiram terus ke selatan sampai Rawa Malang.
Dari situ ke selatan lagi sampai mendarat di tanah kosong untuk bermukim. Mereka hidup dengan bercocok tanam. Tempat itu kemudian dinamakan Kampumg Malaka oleh orang orang Betawi.
Tahun 1705 M, putra Syeikh Muhammad Bandan yang bernama Nasrudin atau Karaeng, menikah dengan anak saudagar ikan keturunan Tionghoa dari Marunda.
Perempuan itu bernama Naomi
Dari isterimya ini Nasrudin dikaruniai anak laki laki yang diberi nama. Naudin.
Setelah dewasa Naudin pada tahun 1730 menikah dengan putri Babah Lan seorang juragan beras dari Bekasi.
Dari perkawinan ini Naudin dikaruniai 5 orang anak, terdiri dari 3 laki laki dan 2 perempuan. Masing masing yang pertama Imalombase Karaeng Naipin atau Haji Naipin/Naifin. Nomor 2 Naimah, nomor 3. Imalombase Karaeng Napiyudin atau Haji Napiyudin/Safiudin yang rumahnya masih ada di Marunda.
Nomor 4 : Imalombase Karaeng Napiun atau Bang Piung, yang menjadi bapak Si Pitung Jago Betawi.
Nomor 5 bernama Nafsiyah yang menikah dengan Tan Zhie Seng. Pasangsn ini mempunyai anak bernama Tan Zhie Ih atau Ji’ih. Jadi menurut Surya Atmadja, tokoh Bang Ji’ih ini selain masih saudara sepupu Si Pitung juga menjadi teman seperjuangan Jagoan Betawi tersebut.
Haji Naipin anak pertama Naudin menikah dengan anak perempuan juragan kambing di Tanah Abang. Setelah itu Uwa atau Encang dari Si Pitung ini tinggal di Pal Merah kemudian pindah ke Rawa Belong.
Sementara Napiun adik Naipin, menikah dengan Sopinah, cucu Engkong Juned, seorang jagoan Cakung. Informasi tersebut didapat Surya Atmadja dari 4 orang narasumber yang tahun 1976 sudah berusia lebih 70 tahun.
Mereka adalah Engkong No’an (90) di Kampung Pengasinan, Bintara, Bekasi, Engkong Ma’in (81) di Marunda, Engkong Leman (70) Cilincing dan Engkong De’ing yang keturuman Bugis di Kampung Kandang Sampi.
“Semuanya kini sudah almarhum,” kata Surya Atmadja warga RW 04 Cakung Barat ini.
Suhu Djadja ini dikenal sebagai pemilik Golok Cakung yang tahun 2021 diakui sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemprov DKI Jakarta setelsh diteliti di Balai Konservasi Borobudur di Magelang dan Pusat Konservasi Cagar Budaya DKI Jakarta di Kota Tua.
Ketua Komunitas Jelajah Budaya, Kartum Setiawan selaku sejarawan meyakini Si Pitung itu cerita nyata. “Kalau tak nyata masak diberitakan koran koran Belanda di jamannya,” ungkapnya.
Ia pun beberapa kali bersama komunitasnya mengunjungi Rumah Si Pitung di Marunda. Rumah panggung itu pernah ditinggali Si Pitung.
Menurut Kasatpel Rumah Si Pitung, Agus Ariyanto maupun pemandu situs sejarah tersebut, Sukma Wijaya, rumah itu dibangun Safiudin saudagar kaya suku Bugis tahun 1880. Sedang Si Pitung datang ke Marunda sekitar tahun 1890-an sebelum ditembak mati oleh polisi Hindia Belanda tahun 1893.
Menurut catatan, situs Rumah Si Pitung selama setengah tahun 2022 dikunjungi 12.250 orang wisatawan. Terbanyak pada bulan Juni 2022 mencapai 6.343 orang wisatawan.
Perjuangan Rakyat
Sementara Imron Hasbullah, Sekretatis Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (Sekum LKB) menyatakan bagi dia cerita tentang Bang Pitung itu nyata.
“Tapi untuk memastikan siapakan beliau itu bisa banyak cerita. Sebab ketokohan Bang Pitung merupakan produk politik perjuangan rakyat,” ujarnya.
Lebih lanjut Imron Hasbullah selaku Sekum LKB menegaskan bahwa hikmah dari cerita tersebut adalah bahwa masyarakat Betawi merupakan hasil percampuran suku-suku dan ras yang ada di sini.
Namun dari cerita tersebut Imron Hasbullah mempertanyakan apakah ada data pendukung untuk menguatkan cerita itu. “Dalam ilmu Hadits, Si Penutur harus dapat menuliskan sanatnya. Pun si penutur harus diketahui integritasnya,” tandas Imron. (PRI)