PARADOKS FREEPORT INDONESIA

oleh
oleh

Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi (net)

 

Oleh : Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi

Founder Numberi Center

 

 

 

Membaca berita yang dirilis oleh Lembaga Masyarakat Adat Mimika Timur (LEPEMAWI) tanggal 4 Oktober 2022 sangat menyakiti hati orang Papua, karena dilecehkan oleh perusahaan Freeport dan dibiarkan serta tidak ditanggapi oleh pemerintah sejak PTFI mulai produksi dan limbahnya dibuang ke sungai Ajkwa, Aghawagon dan Otomona.

Menurut berita tersebut, pada saat Presiden Direktur PT. Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR-RI pada hari Selasa, 27 September 2022, telah terjadi pembohongan publik karena apa yang dijelaskan bertentangan dan PTFI tidak konsekuen dengan fakta di lapangan.

 

Dalam penjelasannya Presdir PTFI di hadapan Komisi IV DPR-RI, diklaim bahwa limbah/tailing yang dibuang telah sesuai dengan aturan yang ada dan tidak menimbulkan permasalahan lingkungan hidup maupun masalah dengan masyarakat setempat.

 

Sedangkan faktanya, pembuangan tailing melalui sungai yang ada sampai ke laut Aru telah banyak merusak lingkungan hidup dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang berada di kampung Nayoro, Tipuka, Ayuka, Nawaripi, Singa, Arwanop dan Waa serta masyarakat di Distrik/Kecamatan Jita, Agimuga dan Distrik Mimika Timur Jauh. Ada 23 kampung dari 3 distrik tersebut.

 

Kita bandingkan dengan UU RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengolahan Lingkungan Hidup : Pasal 1 ayat (14): Pencemaran lingkungan hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

 

Pasal 2 mengatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: tanggung jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregion, keanekaragaman hayati, pencemar membayar, partisipatif, kearifan lokal, tata kelola pemerintahan yang baik, dan otonomi daerah.

 

Ada yang penulis perlu garis bawahi dalam hal asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai pasal 2 tersebut, yaitu :

  • tanggung jawab negara;
  • kelestarian dan keberanjutan;
  • partisipatif;
  • pencemar membayar;
  • kearifan lokal;
  • tata kelola pemerintahan yang baik;
  • otonomi daerah.

 

Yang disebut di atas tidak dipenuhi oleh pemerintah maupun PTFI. PTFI tidak memperhatikan kearifan lokal sama sekali, sehingga wajarlah bila masyarakat mengatakan Presdir PTFI melakukan pembohongan publik.

 

Di Indonesia, suatu pencemaran lingkungan hidup dapat diketahui dengan mudah karena baku mutu telah ditentukan oleh pemerintah. Penetapan baku mutu oleh pemerintah akan memudahkan baik dalam pembinaan lingkungan hidup maupun masyarakat yang menjadi korban dapat dengan mudah mengidentifikasi pencemaran lingkungan yang terjadi oleh perusahaan PTFI.

 

Masyarakat awam tahu betul bahwa setiap tailing dari suatu kegiatan pertambangan seperti apa yang dilakukan PTFI yang membuang tailing di sungai pasti mengandung Arsen (As), Mercuri (Hg), Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dan pasti merusak lingkungan hidup yang ada.

 

Karena tidak diantisipasi dengan baik oleh PTFI juga terjadi pendangkalan sungai-sungai di sekitar kawasan. Maka akibat pendangkalan karena tailing, akhirnya masyarakat yang menggunakan sungai-sungai tersebut sebagai sarana transportasi juga terhenti dan tidak bisa dilewati lagi.

 

Sejak sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa digunakan oleh PTFI untuk mengalirkan tailing, maka sungai-sungai tersebut tidak bisa dilewati lagi menggunakan sampan.

 

Bagi masyarakat asli Papua setempat memiliki kearifan lokal yang dikenal dengan istilah “tiga S”, yaitu: Sagu, Sungai dan Sampan. Kearifan lokal tersebut sesuai dengan UU nomor 32 Tahun 2009 pasal 2, diabaikan juga oleh PTFI.

 

Kepala Suku Kamoro, Hironimus Urmani dari Tipuka, sebuah desa dataran rendah di hilir sungai di tambang Grassberg, berkata : “Alam adalah berkah dari Tuhan dan kami masyarakat Kamoro mengenalnya dengan 3 S : Sagu, Sungai dan Sampan. Tapi hidup ini sangat sulit sekarang”.

 

Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengatakan, “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri”. (Ir. Simon Fellix Sembiring Ph.D., Gatra Pustaka, Jakarta 2019, hal.IX)

 

Tanggapan para pakar dari luar negeri terhadap PTFI :

1.Prof. Denis Leith (Australia) mengatakan, “Selama lebih dari 30 tahun, Freeport dapat melakukan bisnisnya secara aman dengan cara-cara beradaptasi pada budaya bisnis yang mendasarkan diri pada praktik-praktik kotor seperti korupsi, kolusi dan nepotisme”. (The Politics of Power, Freeport in Suharto’s Indonesia, University of Hawaii Press, 2003:hal.3)

 

2.Majalah Facing Finance dalam laporannya yang berjudul Dirty Profits pada tahun 2017 tentang “Report on Companies and Financial Institution Benefiting from Human Rights Violation and Environmental Destruction” menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan antara lain Freeport-Mc Moran Inc. memiliki “Dirty Profits”.

 

  1. Facing Finance juga menyebutkan bahwa “Freeport is not a signatory of the UN Global Compact, but has signed up the Voluntary Principle on Security and Human Rights”. Freeport terpilih karena ada banyak kritikan tentang tambang Grasberg, sehubungan dengan kerusakan lingkungan yang luas dan membayar aparat keamanan untuk mengamankannya, namun akhirnya menimbulkan pelanggaran HAM dan pelanggaran terhadap tenaga kerja. (Human Rights abuses and labour violations).

 

Dari penelitian para ahli pada tahun 2016, disimpulkan oleh majalah Facing Finance bahwa hasil tailing yang dibuang ke sungai Otomona setiap harinya adalah 150.000 (seratus lima puluh ribu) ton. Dikenal oleh Freeport dengan istilah Riverine Tailings Disposal (RTD).

 

Akibat praktik illegal ini membuat “catastrophic environmental impact”.                    Grasberg adalah salah satu dari empat tambang di dunia yang beroperasi dengan cara RTD. Sisa buangan berupa tailing ini mengandung “high concentration of toxins such as copper, arsenic, cadmium and selenium”, menurut majalah Facing Finance.

 

Di samping itu hasil buangan dari “acidrock drainage” mencapai 360.000-510.000 ton dan dibuang di sekitar lembah yang ada. Hasil dari pembuangan ini adalah air yang mengandung metal-metal yang menyebabkan polusi pada air tanah dan sistem sungai. Dari hasil studi lingkungan yang ada didapati bahwa “to be unsuitable for aquatic life” (tidak cocok untuk kehidupan biota di sungai).

 

Pada Oktober 2016 digunakan satelit untuk menganalisa kerusakan lingkungan hutan yang ada, ternyata 136 km2 hutan telah hilang (area tersebut adalah 42x lebih besar dari wilayah konsesi sendiri).

 

Freeport mengklaim bahwa tailing yang dibuang ke sungai telah dikontrol dengan baik, namun menurut para ahli tidak ada policy untuk mengubah maupun menyetop cara pembuangan tailing ini, meskipun sudah merusak lingkungan selama ini. Setelah tambang terbuka (open pit mining) berakhir pada tahun 2017, maka dilanjutkan dengan tambang tertutup atau dibawah tanah (closed mining) hingga tahun 2041.

 

Dengan demikian, PTFI harus bertanggungjawab multak terhadap kerusakan lingkungan yang ada sesuai dengan pasal 87 dan  padal 88 UU 32/20090 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

 

Selain kerusakan lingkungan, Freeport juga menghadapi kekhawatiran terkait kondisi ketenagakerjaan yang buruk, terutama keselamatan pekerja. Pada tahun 2014 pekerja melakukan protes karena kematian empat karyawan di lokasi, dan pada tahun 2013, 28 pekerja meninggal dalam reruntuhan terowongan di tambang.

 

Ada dua kematian lagi di tambang pada tahun 2015 . Selain itu, masalah hak asasi manusia juga telah melanda Freeport selama beberapa dekade, termasuk tuduhan mendanai apparat keamanan Indonesia untuk melindungi tambang, yang menangkap, menahan, menghancurkan properti dan bahkan menyiksa penduduk dan masyarakat sekitar tambang Grasberg.

 

“A recent fact finding mission published November 2016 has described a slow motion genocide taking place in Papua” ditulis oleh majalah Facing Finance dalam laporannya tahun 2016 (hal.18-19).

Terjemahan bebas: Misi pencaharian fakta-fakta baru yang diterbitkan November 2016 menggambarkan telah terjadi genosida orang Papua  secara perlahan-lahan di tanah Papua.

Misi ini juga menetapkan bahwa tailing dari tambang Grasberg sangat kaya dengan bijih sehingga orang-orang mulai menambang tailing untuk emas dan menjual temuan mereka kepada polisi dan militer. Menurut Dr. Agus Sumule, guru besar sosio-ekonomi pertanian di Universitas Papua, “Tekanan pada masyarakat adat sangat kuat. Mereka telah terkena dampak yang sangat negatif, tulis majalah Facing Finance.

Dengan dimilikinya saham 51% oleh Pemerintah Indonesia, maka harmonisasi masalah lingkungan maupun pekerja serta masyarakat yang ada di kawasan Freeport harus menjadi perhatian utama Pemerintah dan PT. Freeport Indonesia agar tidak dikritik oleh masyarakat setempat maupun komunitas internasional.

 

“Tambang Grasberg merupakan tambang no. 3 terbesar di dunia dari total kandungan tembaganya dan no. 1 di dunia dari total kandungan emasnya.”

(Armando Mahler dan Nurhadi Sabirin, Dari Grasberg Sampai Amamapare, Jakarta, 2008: hal. 22).

 

Namun apa yang dikatakan masyarakat Papua di sekitar kawasan PTFI benar terjadi, kebohongan-kebohongan publik masih saja terus terjadi karena PTFI yakin bahwa dengan korupsi, kolusi dan nepotisme sesuai analisis Prof. Denis Leith dapat hidup dan berkembang terus. Sangat Ironis!!! (Penulis adalah mantan Menteri Perhubungan, mantan Menteri PAN-RB, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, mantan Dubes RI untuk Italia dan Malta, mantan Gubernur Papua)

 

 

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id