JAKARTA,REPORTER.ID – Indonesia saat ini masih kekurangan jumlah dokter spesialis. Kondisi ini berdampak kepada penanganan pasien di fasilitas kesehatan sehingga pasien berujung meninggal dunia.
Menkes menyebut, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berbasis pendidikan sehingga semua dokter tidak mendapatkan gaji.
Kementerian Kesehatan RI akan mengubah proses PPDS dari semula berbasis pendidikan, kini ditambahkan berbasis rumah sakit (RS). Artinya, mahasiswa belajar sambil bekerja di RS dan dipastikan mendapat upah atau gaji.
Kemenkes juga akan menambah kuota beasiswa kedokteran dan fellowship sebanyak 82 Prodi pada tahun 2023 mendatang.
Adapun 82 prodi yang ditambahkan terdiri dari 51 prodi untuk dokter spesialis dan subspesialis, 29 fellowship dan 2 dokter spesialis kedokteran layanan primer.
Menanggapi apa yang disampaikan oleh Kemenkes, Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri mendukung penuh langkah Kemenkes untuk memberikan beasiswa sekaligus memberikan insentif terhadap dokter umum maupun dokter spesialis yang sekolah sambil kerja di Rumah Sakit.
Pasalnya kata Hasan Basri, langkah yang dilakukan oleh kemenkes adalah sebagai salah satu bentuk solusi untuk menjamin pemerataan dokter umum dan dokter spesialis di seluruh wilayah Indonesia.
“Jadi yang sebenarnya jadi problem menonjol adalah maldistribusi. Oleh karena itu, kebijakan yang akan diterapkan oleh Kemenkes sangatlah tepat,” ujarnya.
Hasan Basri berharap dengan adanya kebijakan ini dapat menambah semangat serta memudahkan para dokter untuk berpenghasilan di tengah mahalnya biaya pendidikan kedokteran.
Selain daripada itu, untuk mendukung dan menguatkan kebijakan yang akan diterapkan oleh Kemenkes, Ketua Komite III DPD RI yang akrab disapa HB mengusulkan kepada Pemerintah untuk membentuk metode campuran (mix method) Pendidikan Kedokteran di Perguruan Tinggi dalam RUU tentang Kesehatan.
Menurut dia, yaitu sebuah metode University Based dan Hospital Based. Metode Campuran yang dimaksud adalah para mahasiswa kedokteran tetap melakukan kontribusi pembayaran perkuliahan di perguruan tinggi (jika berbayar) tersebut, namun tetap bisa ikut magang di rumah sakit pendidikan tertentu dengan mendapatkan gaji.
“Saya kira kalau kita buat 1-2 di university-based tetap ada sekalipun, tetap nanti proses magangnya juga di rumah sakit pendidikan,” jelas Hasan Basri.
Meski demikian, menurutnya, sebaiknya tetap ada proses tertentu untuk melakukan magang. Sehingga mahasiswa dapat meraih predikat spesialis.
Ia menjelaskan bahwa saat ini perguruan tinggi kedokteran kita tidak menganut sepenuhnya dengan university based secara murni.
Karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang pasti dan jelas untuk mengakomodir metode University Based dan Hospital Based dalam RUU tentang Kesehatan.
“Bahwa sistem pelayanan kesehatan suatu negara yang baik itu memerlukan infrastruktur pelayanan kesehatan yang memadai, selain pengadaan sumber daya manusia yang berkualitas,” pungkasnya.