MEGAWATI DAN PROBLEMNYA

oleh
oleh

Muchyar Yara (net)

Oleh : Muchyar Yara

Selama beberapa waktu terakhir ini, pernyataan, komentar dan sikap Ibu Megawati (Ketua Umum PDI-P dan Presiden V RI) banyak yang menjadi trending topic di media sosial, terkait  komentarnya soal minyak goreng, menerima gelar Professor Kehormatan, guyonan di Acara Ulang Tahun PDI-P soal Jokowi, dan terakhir kritiknya soal ibu-ibu yang senang ikut acara pengajian. Sebagian masyarakat menganggap pernyataan, komentar, kritik, dan sikap Megawati adalah nyeleneh.

Tanpa bermaksud mengesankan penulis mengenal pribadi Megawati, tetapi pada masa awal reformasi penulis sempat berinteraksi secara dekat dengan Beliau, dan bahkan pernah beberapa kali mendapatkan tugas dari Beliau untuk melakukan urusan-urusan politik tertentu.

Sebagai pribadi sesungguhnya Megawati merupakan figur yang tidak senang banyak bicara (bahkan cenderung pendiam), diapun tidak menyukai orang lain yang banyak bicara, orang menyebutnya ‘‘Talkative“ (senang bicara). Selama menjadi anggota DPR di masa Orde Baru Megawati sangat jarang berkomentar, demkian juga ketika terjadi Peristiwa 27 Juli, Megawati juga tidak berkomentar. Selain itu Megawati merupakan figur yang terkesan tertutup, hal ini disebabkan pengalama pribadinya sebagai anak Bung Karno yang telah berusia remaja pasca tahun 1965. Sebagai remaja Megawati mulai bergiatan dalam berbagai aktivitas kemasyarakatan, bersama kakaknya (Guntur Sukarnoputera). Mereka senantiasa diawasi oleh aparat intelijen Orde Baru. Megawati selalu berusaha menghindari pengawasan Intelijen tersebut seperti main kucing-kuncingan, lama kelamaan Megawati sangat paham tentang cara kerja dan cara berpikir intelijen, dan hal ini tanpa disadarinya mempengaruhi juga caranya berfikir dan bertindak. Ketika masa Orde Baru, jika Megawati akan mengadakan pertemuan dengan seseorang di suatu tempat (yang bisanya dirahasiakan), maka dia akan pergi ketempat pertemuan itu dengan berganti-ganti mobil sampai 2 atau 3 kali, agar tidak bisa diikuti oleh aparat inyelijen. Karena dipengaruhi cara berpikir intelijen ini Megawati cenderung berhati-hati kepada setiap orang yang tidak dikenalnya, sehingga dia  tidak akan pernah sepenuhnya terbuka kepada oang lain, bahkan juga terhadap orang-orang terdekatnya agar tidak mengetahui keseluruhan apa yang dilakukannya, demikian juga terhadap pengurus partainya. Halmana bukan bermaksud negatif, tetapi semata-mata menjaga agar apa yang sedang dilakukannya tidak tersebar dan diketahui pihak-pihak yang tidak berkepentingan.

Sehingga setiap ucapan atau tindakan Megawati perlu dipahami dari pengaruh cara berpikir dan bertindak intelijen. Jadi komentar dan ucapan-ucapan Megawati diatas yang terkesan nyeleneh harus dipahami dalam 2 makna, yaitu memang sebagai ungkapan pemikirannya asli atau itu sebagai taktik untuk mengalihkan perhatian  dari persoalan yang sesungguhnya.

Penulis menduga sikap nyeleneh Megawati tersebut sebenarnya untuk menutupi 2 (dua) problem besar yang sedang dihadapinya.

Problem pertama, Megawati harus dapat segera menetapkan Calon Prsiden dari Kader partainya, dan calon Presiden ini sangat diharapkan dapat terpilih menjadi Presiden, karena Presiden ini besar kemungkinannya akan menjabat selama 2 periode (10 tahun).

Problem kedua, Megawati sadar betul bahwa dalam waktu dekat di depan dia harus melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum PDI-P mengingat faktor usia. Untuk itu dia harus dapat menentukan siapa yang tepat untuk menggantikannya sebagai Ketua mum PDI-P, yang mampu menjaga integritas dan keutuhan partainya serta melindungi partai dari upaya cawe-cawe pihak luar, khususnya pihak pemerintah yang terpilih pada Pemilihan Umum tahun 2024.

Kedua problem di atas saling berkaitan satu dan lainnya. Bilamana salah dalam memilih penggantinya sebagai Ketua Umum PDI-P, bukannya mustahil akan berakibat fatal terhadap partai yang didirikan dan dibangunnya  itu.

Siapapun yang terpilih menjadi Presiden, akan tergoda untuk  berupaya menjinakan PDI-P guna mengamankan dan melancarkan jalannya kekuasaannya, mengingat sebagai partai besar PDI-P tentunya mempunyai anggota DPR yang juga banyak. Halmana dapat mempengaruhi pelaksanaan kekuasaanya. Untuk itu presiden yang bersangkutan akan tergoda untuk cawe-cawe atau mengobok-obok dan jika mungkin membawa PDI-P ke dalam pengaruhnya atau lebih jauh lagi. Bahkan jika mungkin mengambil alih kepemimpinan PDI-P. Jika kepemimpinan PDI-P yang ada tidak mau diajak bekerjasama mendukung pemerintahannya. Oleh karena itu untuk kepentingan PDI-P yang paling ideal adalah jika Presidennya berasal dari kadernya sendiri itupun dengan catatan kader sendiri itu harus setia kepada Ajaran Bung Karno dan trah Sukarno.

Guna mencegah dan menangkal obok-obok dari pihak pemerintah/presiden inilah diperlukan Ketua umum (Pengganti Megawati) yang kuat dan didukung penuh oleh segenap warga PDI-P. Di sinilah keterkaitan antara 2 problem di atas. Masalahnya justru Magawati sangat sulit untuk mengatasi ke2 problem termaksud. Mengapa?

Megawati mengalami kesulitan untuk menentukan capres dari kader partainya sendiri. Saat ini ada 2 capres yang menonjol dari kader partainya yaitu Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng) dan Puan Maharani (puterinya sendiri), tetapi keduanya memiliki kelemahan masing-masing. Ganjar dinilai kurang loyal dan kurang  menghargai nilai-nilai kepatutan yang berlaku di kalangan PDI-P. Sebelum mendapat restu dari Ketua Umum, sudah mengambil langkah-langkah persiapan sebagai Capres. Padahal berdasarkan AD/ART PDI-P, hak dan wewenang menetapkan Capres berada di tangan ketua umum. Bahkan diduga kuat Ganjar justru mendapat dukungan/restu dari Presiden Jokowi, halmana tentunya membuat Megawati sangat tidak berkenan, sekalipun elektibilitas Ganjar lumayan tinggi.

Sedangkan Puan Maharani juga sudah melakukan langkah konkrit dan niat guna mempersiapkan dirinya sebagai Capres dari PDI-P meskipun belum ada juga restu dari ibunya. Tetapi semua tahu bahwa jika dia (Puan Maharani) berkehendak harus diikuti, termasuk oleh Ibunya sendiri. Meskipun elektibilitasnya sangat rendah, dan sulit diharapkan akan memenangkan Pemilihan Presiden, tetapi dia tetap bersikukuh mau maju sebagai Capres pada Pilpres 2024.

Dari pengalaman di masa lalu maka diperkirakan dalam hal penetapan Capres ini Mengawati  akan mengakomodir keinginan  Puan Maharani menjadi  Capres dari PDI-P, karena jika tidak akan beresiko rusaknya hubungan antara dia dan puterinya itu. Di samping itu dengan ditetapkannya Puan sebagai Capres, Megawati berharap Puan akan melepaskan keinginannya menjadi Ketua Umum PDI-P. Sehingga bagi Megawati akan lebih mudah dalam memilih atau menetapkan Ketua Umum pengganti yang kuat dan mampu menangkal obok-obok dari pemerintah yang akan datang, meskipun akan  kehilangan kursi Presiden, dengan pertimbangan, bagi Megawati Keutuhan PDI-P lebih penting ketimbang kursi Presiden. Selalin itu juga   mengingat usia Puan masih sangat muda dan masih mempunyai berkesempatan untuk  maju sebagai Capres 10 tahun yang akan datang. Dan selama 10 tahun Puan bisa meningkatkan kemampuan dan pengalaman (termasuk meningkatkan elektibilitasnya) dimana untuk itu  akan diupayakan agar Puan menduduki jabatan strategis di negara ini, seperti melanjutkan jabatannya saat ini yaitu sebagai Ketua DPR-RI atau posisi menteri pada pemerintahan yang akan datang.

Sementara itu dapat diperkirakan Puan tidak akan sanggup memimpin PDI-P, di mana secara ekstern dia harus mempu menangkal upaya ‘‘intervensi“ dari pemerintahan yang akan datang, dan secara internal menjaga keutuhan partai dari gangguan perpecahan di antara para anggotanya yang akan dipicu oleh para kader PDI-P pendukung Ganjar Pranawo atau munculnya kembali sentimen ‘‘Fusi“ oleh kader-kader yang berasal dari parta-partai yang tergabung di dalam PDI-P (Fusi). Tambahan lagi secara genealogis Puan tidak dapat dianggap sebagai Trah Sukarno, mengingat di Indonesia dianut prinsip patriarhad (garis ayah) sehingga lebih cocok jika Puan dikatakan sebagai Trah Taufik Kiemas.

Jika Puan tidak menjadi Ketua Umum PDI-P menggantikan Megawati, lalu siapakah yang akan dipilih oleh Megawati sebagai Ketua Umum PDIP menggantikan dirinya? Pertanyaan ini akan sulit dijawab sekarang, apalagi mengingat Megawati merupakan figur yang tertutup. Sehingga jawabannya hanya Megawatilah akan bisa menjawabnya. Tetapi sebagai ancang-ancang kiranya dapat dikemukan kriteria calon Ketua umum PDI-P pasca Megawati, Yaitu sebagai berikut :

  1. Calon tersebut harus dikenal baik dan dekat dengan Megawati serta diterima pula oleh Puan Maharni. Artinya, Puan tidak berkeberatan jika calon yang bersangkutan diangkat menjadi Ketua Umum PDI-P menggantikan Megawati.;
  2. Calon tersebut menpunyai cukup pengalaman dengan praktek kehidupan kenegaran dan pemeintahan, serta mempunyai jaringan politik yang luas.
  3. Calon tersebut sudah cukup mengenal seluk beluk PDI-P.

Siapakah kira-kira calon tersebut….? Berdasarkan kriteria diatas, sebenarnya penulis dapat menduga-duga siapakah kira-kira figur yang akan dipilih untuk menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P. Tetapi nampaknya tidak etis jika nama figur tersebut penulis sebutkan disini, sebaiknya kita tunggu saja dari Ibu Megawati. Sekian dan terima kasih. (Penulis adalah alumni GMNI dan mantan Staf Pengajar HTN – FHUI)

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id