JAKARTA, REPORTER.ID – Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah sangat berharap para Hakim yang mulia di Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, bukan tertutup. Sebab dalam demokrasi, apabila itu menyangkut kepentingan umum terkait dengan masyarakat banyak, maka semakin terbuka artinya semakin demokratis.
“Kami berharap MK akan meneruskan tradisi demokrasi dan tradisi masyarakat demokrasi, serta tradisi pemilu demokratis atau demokrasi dalam pemilu. Karena sesungguhnya, kalau kita bicara tradisi demokrasi, maka tradisinya adalah masyarakat terbuka dan pemilu terbuka,” kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/6/2023).
Lanjut Fahri, bangsa ini tidak bisa kembali lagi kebelakang menganut paham tertutup, paham otoriter dan paham masyarakat tertutup. Karena sudah membuka negara ini, dan hasilnya luar biasa bagi kemajuan umum, kecerdasan umum dan kesadaran bahwa semuanya bertanggungjawab terhadap perbaikan bangsa Indonesia ke depan.
“Jangan lagi kita menyerahkan urusan umum, urusan publik kepada segelintir orang elite Indonesia. Tetapi harus diserahkan kepada seluruh rakyat Indonesia, agar semua berpartisipasi bagi kebaikan bersama,” tegasnya.
Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 ini menganggap sistem proporsional tertutup, apalagi dalam pemilihan anggota Legialatif akan sangat membahayakan demokrasi. Pasalnya, partai akan menjadi pemegang kontrol penuh terhadap kadernya yang duduk di DPR RI maupun DPRD Kabupaten/Kota, bukan lagi rakyat.
“Sistem tertutup itu berbahaya, karena kontrol pimpinan partai kepada anggota Dewan akan makin kencang. Dalam sistem proporsional tertutup, siapapun yang menjadi anggota Dewan akan ditentukan penuh oleh mekanisme partai yakni dipilih oleh Ketua Umum,” sebut Fahri.
Kenapa? Karena di dalam pemilu, masih menurut Fahri, rakyat hanya memilih partai politik saja, sehingga siapapun yang dipilih partai untuk menjadi anggota Dewan, maka kontrol akan dilakukan oleh partai politik secara menyeluruh.
“Maka anggota Dewan bisa disuruh diam, tidak perlu dengar rakyat. Kamu diam, dengerin Ketua Umum. Karena nyawamu di Ketua Umum, nyawamu di Sekjen, maka kamu diam. Saya bilang diam kamu diam,” ujarnya.
Berbeda jika sistem proporsional terbuka, dimana dalam pemilu rakyat akan memilih secara langsung individu-individu calon anggota legislatif. Seluruh kontrol bisa dilakukan oleh rakyat, bahkan konsekuensi elektoral bisa diterima jika performanya tidak baik saat menjabat.
“Kalau kita (pakai sistem proprosional) terbuka rakyat yang milih. Saya kalau salah nggak akan terpilih lagi oleh rakyat,” terang Fahri.
Oleh sebab itu, dalam konteks perdebatan apakah sistem proporsional tertutup atau terbuka, dan saat ini perselisihannya sudah ada di tangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK), maka Fahri Hamzah menyarankan agar sistem yang berjalan nanti berdasarkan putusan hakim konstitusi adalah proporsional terbuka.
“Harus tetap terbuka, sistemnya harus terbuka,” tegas calon Legislatif (Caleg) Partai Gelora Indonesia dari daerah pemilihan atau Dapil NTB I tersebut. ***