JAKARTA,REPORTER.ID – SETARA Institute menilai DPR RI menyandera Rancangan Undang-Undang Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Orang Secara Paksa Setelah selangkah lagi disahkan.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa perlu dilaksanakan tahun ini oleh DPR RI sebagai jaminan ketidakberulangan tindak penghilangan paksa. Namun, setelah perjalanan panjang sejak 2010 ditandatanganinya Konvensi, RUU ini mandek dan belum kunjung mendapatkan lampu hijau pengesahan di DPR RI.
“Terbukti dalam sidang DPR RI sebelum masa reses Agustus-September 2023, prolegnas belum menjadwalkan pembahasan RUU. Mestinya, jadwal pengesahan RUU bisa segera dilakukan setelah masuk dalam Daftar RUU Kumulatif Terbuka tentang Pengesahan Perjanjian Internasional,” demikian Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, Kamis (31/8/2023).
Hal itu disampaikan bersama beberapa LSM antara lain; Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penghilangan Paksa
KontraS, Federasi KontraS, KontraS Aceh, AJAR (Asia Justice and Rights) IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), Amnesty Internasional Indonesia, ELSAM, SETARA Institute, PBHI, YLBHI, dan Imparsial.
RUU ini kata Hendardi, sering disalahpahami sebagai undang-undang bermuatan politis untuk menjegal tokoh tertentu. Seharusnya kesalahpahaman ini sudah usai dengan telah diterbitkannya Surat Presiden (Surpres) berisi persetujuan 4 kementerian terkait, yaitu Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Pertahanan pada 2023.
Menurut dia, pengesahan RUU ini harus dipahami sebagai bagian dari fungsi pencegahan dan korektif yang dilakukan oleh negara untuk mencegah terulangnya peristiwa penghilangan paksa di kemudian hari. “Selain itu, Pengesahan RUU ini dapat memperkuat sistem legislasi dan supremasi hukum di Indonesia, sebab konvensi mengatur pemberian kepastian hukum bagi korban dan keluarga korban, serta jaminan ketidakberulangan praktik penghilangan paksa bagi generasi yang akan datang,” ujarnya.
Ia menilai, upaya ini bukan hal yang tiba-tiba dituntut masyarakat sipil menjelang pemilu 2024. Melainkan sebuah proses panjang sejak konvensi ditandatangani pada 27 September 2010, melalui Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa. Setelah itu, konvensi mulai berlaku (enter into force) pada 23 Desember 2010.