DPR Sepakat Bentuk Pansus Polusi Udara Jabodetabek

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID – Kondisi udara Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) yang terus memburuk dan sangat mengganggu kesehatan masyarakat, bahkan mencapai 200 ribuan orang khususnya anak-anak yang terkena Ispa, maka DPR RI sepakat untuk membentuk Pansus Polusi Udara.

“Untuk pembentukan Pansus polusi udara ini, lintas komisi DPR RI terkait sudah menyerahkan kepada pimpinan fraksi-fraksi dan selanjutnya akan diputuskan. Kita tunggu saja, keputusannya kini ada di pimpinan fraksi-fraksi,” tegas Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena.

Hal iti disampaikan politisi Golkar itu dalam dialektika demokrasi “Cegah Efek Negatif Polusi Udara terhadap Kesehatan” bersama Wakil Ketua Komisi IV DPR RI FPKB Anggia Erma Rini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, dan pengamat kebijakan Kesehatan Hermawan Saputra (Ketua Umum IAKMI) di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (31/8/2023).

Lebih lanjut Melky – sapaan akrabnya mengatakan bahwa polusi udara ini bukan masalah baru, tapi sudah dikritisi sejak 10 tahun lalu. “Saat itu para ahli dokter paru sudah merekomendasikan polusi udara yang membahayakan ini. Dan, menjadi trend karena disinggung oleh Presiden Jokowi saat rapat terbatas dengan para menterinya bahwa polusi udara ini sudah kritis,” jelasnya.

Menurut Melky sudah ada 7 juta orang yang meninggal akibat polusi udara di dunia, dan 2 jutanya di Asia Tenggara, dan Indonesia di urutan ke-5. Khusus Jakarta dalam 2 tahun terakhir pasca covid-19 kondisinya makin buruk. Sehingga biaya untuk kesehatan itu mencapai Rp10 triliun.

Karena itu kata dia, Pansus nantinya harus jelas dan tegas apa yang menjadi penyebab memburuknya polusi udara Jabidetabek ini. “Apakah dari transportasi, industri, perusahaan, rokok dan lain-lain? Tentu ada sanksi yang harus ditegakkan bagi yang terbukti melanggar,” ungkapnya.

Anggia mengatakan jika kondisi buruknya udara Jabodetabek ini harus direspon cepat, karena menyangkut nyawa manusia. Namun, mengatasinya tidak bisa hanya dari satu kementerian KLHK (kementerian lingkungan hidup dan kehutanan) misalnya, tapi terkait dengan industri, perhubungan, dan lain-lain.

“Bayangkan di Jakarta ini tiap harinya yang terdeteksi ada 40-an juta sepeda motor yang lalu lalang, belum ditambah mobil, dan angkutan lain. Juga ada 10 PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang mengelilingi Jakarta, dan sebagainya. Jadi, harus ada sanksi bagi yang terbukti melakukan kriminalisasi kejahatan lingkungan ini,” jelas Anggia.

Menurut Siti Nadia Tarmizi penanganan udara yamg buruk juga harus berbasis kesehatan. Sehingga jangan sampai penanangan itu sendiri menimbulkan gangguan kesehatan yang baru. “Kita bisa contoh China, yang di tahun 2013 udaranya buruk, tapi sekarang sudah bagus, biru. Hal itu selain mengurangi penggunaan energi fosil ke energi bio atau energi baru terbarukan. Jadi, ini harus banyak melibatkan berbgai pihak terkait,” tambahnya.

Hermawan juga sependapat jika visi dan misi pembangunan itu harus berbasis kesehatan lingkungan. Baik sosial ekonomi, industri, transportasi, pertanian, kehutanan dan sebagainya. “Kondisi saat ini sebagai akumulasi dari 280 juta penduduk Indonesia, yang di Indonesia emas 2045 bisa mencapai 300 juta jiwa. Khusus di Jakarta kalau malam ada 11 juta orang, tapi kalau siang hari bisa mencapai 17 juta orang, belum ditambah kendaraan. Jadi, harus ada kebijakan pembangunan yang berwawasan kesehatan,” ungkapnya.