Prof. Gayus Lumbuun (net)
Oleh: Prof. Gayus Lumbuun
Pengantar
Respons terhadap Putusan MA yang membatalkan PKPU No 9 Tahun 2020 masih berlanjut. Pada satu sisi ada kebutuhan untuk melihatnya secara komprehensif dan progresif, bukan semata-mata untuk kepentingan politik jangka pendek. Kehadiran sistem Judicial Review baik terhadap UU yang ada pada Mahkamah Konstitusi (MK) dan Judicial Review terhadap peraturan Perundang-Undangan di bawah UU yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA) merupakan solusi konstitusional terhadap kelemahan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini dalam menghadapi dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Tujuannya adalah tidak lain hukum atau peraturan perundangundangan yang ada tidak menjadi penghalang dalam menciptakan keadilan saat ini dan ditunda di kemudian hari setelah atau menunggu proses revisi oleh Pemerintah dan DPR yang biasanya menunggu waktu yang lama.
Oleh karena itu, saya berharap kita semua berada pada satu pemikiran yang sama bahwa baik putusan MK maupun putusan MA merupakan solusi hukum terhadap upaya menghadirkan keadilan dalam masyarakat yang tidak tertampung dalam hukum atau peraturan perundang-undangan yang tertulis saat ini, yang harus menunggu perubahan atau revisi peraturannya.
Dan harus diakui bahwa itulah salah satu ciri pokok kekurangan dari hukum tertulis yaitu tertinggal dari dinamika kehidupan masyarakat. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa 2 hukum tertulis itu, pada dasarnya sudah tertinggal dari kebutuhan masyarakat sejak pada hari ditetapkan atau diundangkannya.
Putusan Progresif Atau Destruktif?
Ada dua pemikiran ekstrim yang terkait Putusan MA mengenai usia Gubernur/Wakil Gubernur, yaitu putusan yang Progresfi atau Destruktif. Progresif bermakna demokratis, responsif dan adil. Sedangkan destruktif dimaknai merusak. Argumentasi bagi karakter putusan Progresif didasarkan pada pemikiran bahwa Peraturan KPU menempatkan persyaratan usia sebagai bagian dari persyaratan seseorang mendaftar sebagai calon.
Persyaratan waktu pendaftaran sebagai calon “mempersempit” atau menutup peluang dan kesempatan “bagi penduduk” atau warga negara untuk terlibat atau berpartisipasi. Membatasi warga untuk terlibat dalam hak menjadi indikator dari regulasi yang kurang berkarakter demokratis. Konstitusi mesyaratkan usia dalam jabatan, bukan sebagai calon.
Misalnya, untuk syarat usia yang diatur dalam UUD 1945 sebagaimana tercermin pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden sebagai jabatan dan bukan mengatur perihal syarat calon presiden maupun syarat calon wakil presiden.
Dalam konteks persyaratan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur maka persyaratan ketika pelantikan lebih mendekati norma yang diatur dalam Konstitusi serta lebih membuka ruang dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada warga negara sehingga bersifat demokratis, komprehensif dan responsif.
Pemikiran bahwa putusan tersebut bersifat destruktif sebagaimana disampaikan oleh Bpk. Mahfud MD adalah hanya didasarkan pada suatu asumsi bahwa aturan tersebut hanya menguntungkan individu 3 atau orang tertentu. Hal ini akan semakin kuat kalau dibaca secara politik praktis, kecurigaan untuk meloloskan orang tertentu, apalagi terhadap lawan politik maka penilaian tersebut menjadi sangat subyektif dan konservatif.
Pemikiran Bpk. Mahfud MD yang mengatakan bahwa Putusan MA tersebut sebagai hal yang destruktif adalah upaya yang menyesatkan publik sebagai kehendaknya sendiri yang berbeda dengan sifat progresifnya putusan MA tersebut.
Karena putusan MA yang memberikan kesempatan yang lebih luas khususnya kaum muda yang layak untuk menjadi Pemimpin Daerah akan terkendala usia dengan batasan pada saat pendaftaran dan penetapan yang tentu akan menjadi lebih luas sebagaimana putusan MA tersebut dihitung usia calon Pimpinan Daerah pada saat dilantik.
Adapun UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada Pasal 7 huruf e tidak mencantumkan batas sejak pendaftaran/penetapan ataupun dihitung sejak pelantikan, namun KPU RI melalui PKPU No. 9 Tahun 2020 Pasal 4 huruf d menetapkan batas usia calon sejak penetapan.
inilah MA dengan kewenangannya melakukan Judicial Review memutuskan dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih, hal inilah yang dengan jelas menunjukkan perluasan kesempatan sebagai keadilan bagi seluruh Masyarakat yang menjadikan putusan MA ini disebut progresif.
Pengertian berpikir secara progresif : 1. Belajar dari kesalahan 2. Melakukan evaluasi diri 3. Bangkit dari kegagalan. Adapun pengertian destruktif dapat diartikan sebagai sifat perilaku yang cenderung mengganggu kelancaran proses, tidak berfaedah mengarah kepada dasar pikiran yang negatif dan kepada suatu konflik atau pertentangan.
Pemikiran tentang melawan sifat progresif adalah suatu sifat konservatif yang selalu mengkritik saingan mereka untuk membuat alasan didasarkan kepada apa yang mereka anggap benar dan diinginkan yang ditopang oleh kumpulan sentiment dan tidak disertai dengan dogma ideologis.
Lalu dimanakah pemikiran Bpk. Mahfud MD ada pada pemikiran saya yang mengatakan Putusan MA adalah Putusan yang Komprehensif dan Progresif untuk bangkit dari Kegagalan seperti kebebasan berdemokrasi yang baik sebagai Kedaulatan Rakyat dengan tidak menyalahgunakannya sebagai alat berpolitik untuk kepentingan sesaat dengan perimbangan konsep Nomokrasi yaitu dengan mengatasinya melalui Kedaulatan Norma atau Kedaulatan Hukum yang dilakukan dengan melakukan Judicial Review demi kepentingan Masyarakat banyak. Demikian Penjelasan atas pendapat saya untuk Bpk. Mahfud MD bisa memahami dengan baik. (Penulis adalah mantan Hakim Agung, mantan Wakil Ketua Umum DPP IKADIN, mantan anggota Komisi III DPR, mantan Pimpinan Pansus Century, dan Ketua Tim Hukum PDIP)