JAKARTA,REPORTER.ID – Komite III DPD RI menyelenggarakan rapat kerja dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim membahas penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia, Senin (19/8/2024) di Ruang Rapat Sriwijaya DPD RI. Salah satu yang menjadi sorotan adalah terkait penyelenggaraan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang sering memunculkan polemik di masyarakat tiap tahunnya.
“Adanya sistem PPDB jalur zonasi yang diharapkan dapat menghapus stigma adanya sekolah unggulan, serta menjadi solusi pemerataan akses pendidikan, justru menimbulkan masalah baru bagi peserta didik dan orang tua peserta didik yang kebetulan lokasi rumahnya jauh dari sekolah negeri,” tegas Ketua Komite III DPD RI Hasan Basri.
Terkait PPDB, Komite III DPD RI berharap agar penyelenggaraan PPDB dapat terus dilakukan perbaikan dan pengawasan ketat dengan melibatkan pemerintah, institusi pendidikan, ataupun masyarakat. “Perbaikan tersebut harus dilakukan melalui penyusunan kebijakan yang lebih objektif, transparan, dan akuntabel demi terciptanya pemerataan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia,” ucap Hasan Basri yang merupakan Senator dari Kalimantan Utara ini.
Komite III DPD RI meminta agar Kemendikbudristek meninjau ulang persentase komposisi jalur penerimaan peserta didik baru yang berlaku saat ini dan mempertimbangkan kebijakan penerimaan siswa melalui jalur zonasi, karena dapat membuat siswa kesulitan untuk mengakses pendidikan di sekolah, terutama di daerah-daerah yang kekurangan sekolah negeri.
“Penyelenggaraan PPDB juga harus diimbangi dengan pengawasan terhadap kecurangan dan penyelewengan pada penyelenggaraan PPDB, serta melakukan penegakan hukum yang tegas bagi pihak yang terlibat untuk memberikan efek jera dan menjaga integritas sistem pendidikan,” kata Hasan Basri.
Anggota Komite III DPD RI dari Provinsi Jawa Timur Ahmad Nawardi berharap agar pelaksanaan PPDB terus dievaluasi berkala. Karena setiap tahun, memunculkan protes dan polemik di masyarakat, terutama terkait jarak antara tempat tinggal dengan sekolah yang ingin dituju. Menurutnya PPDB dapat berjalan baik jika diimbangi dengan pemerataan infrastruktur pendidikan.
“Ada yang mengukur menggunakan google map, ada yang pakai meteran. Persoalannya adalah kurang meratanya sekolah negeri di negara ini,” kata Nawardi.
Wakil Ketua Komite III DPD RI Abdul Hakim berpesan agar di tahun 2025, anggaran pendidikan tetap sebesar 20 persen. Dia berharap meskipun di pemerintah selanjutnya terdapat program makan gizi gratis yang membutuhkan anggaran besar, tidak mengurangi alokasi anggaran pendidikan yang telah diatur oleh Konstitusi.
“Tentunya penentuan anggaran 20 persen oleh konstitusi ini memiliki dasar dan filosofisnya. Kalau ini digeser tentu berdampak pada penggeseran-penggeseran yang lain,” tutur Abdul Hakim.
Selain itu, Hasan Basri mendesak pemerintah untuk menjadikan pos anggaran pendidikan sebesar Rp722 triliun itu ada di satu pintu kementerian pendidikan. Termasuk anggaran pendidikan di kementerian agama RI sekitar Rp150 triliun. Sedangkan Kemendikbudristek RI sendiri hanya mengelola Rp100 triliun. Penyatuan anggaran itu agar mudah dilakukan pengawasan. Sebab, pengawasan akan sulit dilakukan kalau didistribusikan di berbagai kementerian dan lembaga (K/L) untuk pendidikan dan latihan (diklat) dan sebagainya.
“Anggaran pendidikan di satu kementerian itu agar mudah dalam melakukan pengawasan. Baik oleh DPD RI maupun DPR RI. Kalau didistribusikan kepada kementerian yang lain misalnya ke Kemenhan RI, Komite III DPD RI bukan mitra kerja Kemenhan RI dan seterusnya,” kata Hasan Basri.
Selain itu lanjut senator dari Dapil Kalimantan Utara i(Kaltara) tu, anggaran pendidikan yang besar tersebut agar dimanfaatkan secara optimal oleh perguruan tinggi negeri (PTN), sehingga PTN tidak membebani mahasiswa. Seperti uang kuliah tunggal (UKT) dan uang pembangunan institusi yang mahal.
Mahalnya UKT dan uang pembangunan yang mencapai puluhan juta rupiah itu hingga banyak calon mahasiswa.yang mengundurkan diri. Padahal, amanah konstitusi menegaskan bahwa semua rakyat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. “Kasus sengkarut UKT juga salah satunya karena sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang unik karena banyaknya perguruan tinggi di K/L. Di negara lain itu terpusat di kementerian pendidikan atau kementerian pendidikan tinggi dan satu pintu,” kata senator dari Dapil Kaltara ini.
Amamah itu termaktub dalam UUD 1945. Pasal 28C Ayat 1 berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Pada Ayat 1 dan 2. Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Menurut Hasan Basri, kalau subsidi Rp1 triliun untuk setiap PTN itu masih belum mencukupi. Sehingga semua PTN membuat kebijakan UKT masing-masing dan itu malah memberatkan mahasiswa. Karena itu, anggaran dan subsidi untuk PTN itu harus dievaluasi bersama. “Agar cita-cita pendidikan yang diamanahkan UUD NRI 1945 itu benar-benar bisa terwujud,” pungkasnya.