Oleh: Harjono PS*
ANGIN berhembus sepoi-sepoi ketika aku menyusuri kaki Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan. Saya tertarik berjalan-jalan ke daerah terpencil ini karena mendapat info, ada seorang lelaki yang usianya 130 tahun. Menarik bagiku untuk menengok pria sepuh yang kabarnya pernah menjadi kawan dekat Kahar Muzakar, seorang pejuang kemerdekaan dari Tanah Luwu, Sulawesi Selatan yang akhirnya menjadi pemberontak karena merasa pengabdiannya tidak mendapatkan balasan yang sepadan oleh pemerintah tempo dulu.
Pria itu bernama H, Syamsuddin. Tempat tinggalnya di kaki Gunung Latimojong. Tepatnya di Dusun Hombet, Kelurahan Tomenawa, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Untuk menuju ke rumahnya, ternyata tidak mudah. Medannya cukup berat. Selain jalannya rusak, juga harus naik-turun, melewati lembah yang rusak akibat longsor.
Syamsuddin tinggal berdua dengan isterinya, bernama Teu yang kini berusia sekitar 85 tahun. Kondisinya sudah cukup rawan. Saat saya bertandang ke rumahnya, Teu berada di kamar, tiduran karena sedang sakit. Keduanya dirawat oleh salah satu anaknya yang tinggal di dekat rumahnya, Siti Husni yang berusia 62 tahun. Pasangan suami isteri (pasutri) Syamsuddin-Teu punya tujuh anak, yakni Nadira, Sunarto, Siti Husni, Arhamuddin, Satirah, Rauf, dan Hairiyah. Dari tujuh anak tersebut, 5 orang bertitel sarjana.
Dua orang sudah meninggal yakni Nadira dan Sunarto. Cucu Syamsudin 17 orang dan cicitnya tiga orang.
Rumah Syamsudin berukuran sekitar 45 meter, ada dua kamar tidur, ruang tamu, dan ruang keluarga. Di halaman samping ada kandang ayam. Tidak banyak info yang bisa digali dari pria berusia 130 tahun itu.
Namun dari penuturan putrinya, Siti Husni disebutkan, ayahnya lahir di Desa Wulu Salu, Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Pernah sekolah di SR (Sekolah Rakyat).
Syamsudin lama jadi guru relawan. Anehnya, ketika mau diangkat jadi guru tetap, menolak. Dia lalu membuka lahan di Dusun Kalimbua, sekitar 7 kilo meter dari rumah tinggalnya yang sekarang.
Selain itu, Syamsuddin juga membuka lahan di daerah Palopo bersama-sama saudara. Kawan-kawan sepantaran dengannya sudah meninggal semua, tetapi ada adiknya yang usianya sedikit di bawah dia yang masih hidup dan tinggal di Palopo.
Selepas mengajar di Sekolah Rakyat, Syamsuddin hidup bertani dan berkebun di lahan yang dibukanya di Kalibua dan Palopo. Dia menanam coklat dan salak. Dari hasil berkebun, uangnya untuk menyekolahkan anak-anaknya. “Tetangga-tetangga di sini bilang, bapak saya berpandangan luas dan jauh ke depan. Lima anaknya disekolahkan sampai sarjana, dan dua tidak karena meninggal dunia,” kata Siti Husni.
Ditanya, apa resep hidup Pak Syamsuddin sehingga mampu momong anak-cucu hingga sekarang, Siti Husni yang tiap hari merawatnya menuturkan, sejak muda ayahnya tidak terlalu ngoyo dalam mendalami hidup, selalu tawakal beribadah. Tidurnya hanya beberapa jam sehari, sisa untuk beribadah, sholat, dan berdoa. “Itulah yang membuat Bapak bisa mendampingi anak cucu hingga kini. Kerjanya hanya sholat dan berdoa,” ujarnya.
Terakhir, atas nama keluarga, Siti Husni yang pensiunan guru sejarah di salah satu SMA di Baraka mengucapkan terima kasih atas bingkisan dan bantuan uang dari salah satu menteri di Kabinet Indonesia Maju yang dititipkan kepada saya. Sebelum menelusuri ‘lorong-lorong gelap’ di kaki Gunung Latimojong ini, saya memang kasih tahu teman-teman di Jakarta dan kebetulan ada yang nitip untuk Pak Syamsudin. ***
* Penulis adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta