MENAKAR KEDAULATAN DAN YURISDIKSI ASEAN DI LAUT CHINA SELATAN

oleh
oleh
Oleh: Ambassador, Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Ambassador, Laksamana Madya TNI (Purn) Freddy Numberi

George Orwell, mengatakan:
“Kami tidur dengan tenang di tempat tidur kami di malam hari, hanya ada orang-orang kasar yang siap melaksanakan kekerasan atas nama kami”
(Brent Droste Sadler, 2023: hal. 148)

1. Latar belakang
Meningkatnya potensi konflik dan ketegasan klaim teritorial China atas Laut China Selatan (LCS), memaksa para Menteri Luar Negeri ASEAN mengadopsi Deklarasi ASEAN tentang Laut China Selatan (LCS), pada bulan Juli 1992.
(Nalanda Roy, 2013: hal.167)
Deklarasi itu, menyerukan penyelesaian damai atas “semua masalah kedaulatan dan yurisdiksi yang berkaitan dengan Laut China Selatan”. Termasuk juga “menahan diri” dan penerapan “prinsip-prinsip yang terkandung dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja sama (TAC) di Asia Tenggara sebagai dasar untuk menetapkan kode etik internasional atas Laut China Selatan” .
Meskipun klaim tumpang tindih, negara-negara anggota ASEAN, menunjukkan minat mereka untuk mempromosikan stabilitas di Asia Tenggara dan menghindari konfrontasi dari China.
(Nalanda Roy, 2013: hal. 167)
Akhirnya China menormalkan hubungannya dengan banyak tetangganya di ASEAN. Misalnya, China menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia dan Singapura pada tahun 1991.
Negosiasi multilateral semacam itu terbukti cukup berhasil, untuk menjaga aktor non-regional, seperti Mahkamah Internasional (IC) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dari keterlibatan langsung pada masalah di LCS.

2. China Sebagai Mitra Dialog ASEAN
Pada pertemuan di Jakarta, Indonesia, ASEAN mengesahkan China sebagai Mitra Dialog penuh negara-negara anggota ASEAN.
Lima bidang penting yang menjadi fokus utama ASEAN, yaitu:
a. Masalah keamanan tradisional;
b. Pengaturan kawasan perdagangan bebas;
c. Pembangun ekonomi bilateral;
d. Laut China Selatan dan keamanan maritim;
e. Perspektif regional tentang hubungan ASEAN dengan China.
Hubungan antara ASEAN dan China tampaknya semakin dekat di milenium baru, dengan penandatanganan Deklarasi yang direvisi tentang Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan. Pada pertemuan puncak ASEAN dan China di Pnom Penh pada bulan November 2002, serta Deklarasi bersama Kepala Negara tentang Kemitraan Strategis untuk Perdamaian dan Kemakmuran bersama pada Oktober 2003 di Bali.
Sementara itu. China secara konsisten berikeras bahwa sengketa masalah kedaulatan dan yurisdiksi di LCS negara-negara anggota ASEAN dengan China, harus dinegosiasikan secara bilateral. (Nalanda Roy, 2013: hal. 178)
Hal ini menimbulkan kontroversi bagi ASEAN, karena China lebih unggul dalam bernegosiasi, yang mencakup tidak ada internasionalisasi dalam konflik di LCS, tidak ada negosiasi multilateral yang melibatkan pihak ke-3 dan tidak ada spesifikasi tuntutan laut teritorial China. Apalagi, China telah mereklamasi pulau-pulau dan karang-karang di Laut China Selatan dalam rangka ekspansi Angkatan Laut China, yaitu:
(1). Zhanjiang South Fleet HQ, ekspansi yang signifikan untuk penambahan kapal dan fasilitas pendukung pantai (dekat daratan China);
(2). Yulin Naval Base di Pulau Hainan, untuk perluasan dermaga untuk mengakomodasikan kapal induk super generasi berikut;
(2). Yulin Submarine Base berada dekat di Pulau Hainan juga, yaitu perluasan dermaga dan fasilitas pantai; untuk mengakomodasikan kapal selam tambahan dan kapal-kapal dari kelompok tempur kapal induk;
(3). Fiery Cross Reef, pembangunan landasan pacu sepanjang 3124,81 mtr dan pelabuhan dengan panjang dermaga 1325,88 mtr, serta fasilitas pendukung logistik yang dilengkapi dengan senjata tetap (fixed weapon positions);
(4). Subi Reef, pembangunan landasan pacu sepanjang 2987,04 mtr dan pelabuhan dengan panjang dermaga 1.112,52 mtr, serta fasilitas pendukung logistik, ditambah dengan senjata tetap;
(5). Mischief Reef, pembangunan landasan pacu sepanjang 2712,72 mtr dan pelabuhan dengan panjang dermaga sekitar 1944,32 mtr serta fasilitas pendukung logistik yang dilengkapi dengan senjata tetap.
(Brent Droste Sadler, 2023: hal. 139)

3. Penutup
China telah melanggar “Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea” antara ASEAN dan China yang ditandatangani di Pnom Penh, Kamboja, pada tanggal 4 November 2002. (Nalanda Roy, 2013: hal. 69-70)

China juga telah melanggar kode etik dalam rangka “menahan diri” dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerja sama di Asia Tenggara antara ASEAN dan China dengan membangun secara sepihak pangkalan Angkatan Lautnya di Laut China Selatan.
(Brent Droste Sadler, 2023: hal. 139)

Dengan China, membangun pangkalan Angkatan Lautnya di Laut China Selatan, tentunya AS menjadi kesulitan untuk meliwati jalur laut di kawasan LCS.
(lihat Peta-1)


Peta-1

Julian Stafford Corbett, mengatakan: “Oleh karena itu, komando laut tidak lain berarti kendali komunikasi maritim, baik untuk tujuan komersial maupun militer. Objek perang laut adalah kontrol komunikasi, dan bukan seperti perang di darat yang melakukan penaklukan wilayah.” (Brent Droste Sadler, 2023: hal. 35)

Jakarta, 4 Desember 2024