JAKARTA,-REPORTER.ID – Kalangan LSM menilai Kesemrawutan Pilkada Kota Banjar Baru Kalimamtan Selatan (Kalsel), Bukti Penyelenggara Pilkada Tidak Profesional. Apalagi jika dibandingkan dengan pilkada di daerah lain.yang kasus – masalahnya sama, tapi ditangani secara berbeda, sehingga kepitusannya pun berbeda, dan itu merugikan pasangan calon juga masuarakat.
Demikian yang disampaikan kalangan LSM dalam diskusi “Kontroversi Pilkada Kota Banjar Baru Kalimantan Selatan” dilaksanakan yang digelar Lembaga Studi Visi Nusantara (LS Vinus) di di Jakarta, Senin (16/12/2024).
Beberapa hal yang menjadi kontroversi Pilkada Kota Banjar Baru diantaranya :
Kondisi ketidakjelasan dan kesemerawutan Pilkada Kota Banjar Baru tersebut dipicu oleh Surat Keputusan KPU No. 1774 tahun 2024 yang dikeluarkan 24 hari menjelang tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara, yakni tanggal 23 November 2024. Oleh karena itu dalam melihat kesemerawutan di atas, mereka menyatakan :
1. Keterbatasan waktu seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak bisa mengubah suara. Sehingga alasan yang dilontarkan oleh KPU terkesan mengada-ngada. Manakala surat suara tidak diubah pilihan terhadap pasangan yang telah didiskualifikasi semestinya tidak bisa dinyatakan tidak sah. Karena tidak disediakan dalam surat suara.
2. KPU tidak profesional dalam menyelenggarakan Pilkada Kota Banjar Baru yang mengakibatkan hilangnya hak politik masyarakat, yang memilih pasangan calon yang didiskaulifikasi.
3. Mendukung upaya hukum Lembaga Pemantau Pemilu dan Elemen Masyarakat Sipil untuk menempuh Gugatan pada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan hasil Pilkada Kota Banjar.
4. Tidak hanya ke Mahkamah Konstitusi MK), gugatan hukum juga bisa dilakukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menggugat Surat Keputusan KPU yang membuat Pilkada Kota Banjar tidak menjunjung tinggi prinsip keadilan dan prinsip demokrasi.
LSM tersebut antara lain: Yusfitriadi (Visi Nusantara Maju), Ray Rangkuti (LiMa Indonesia)? Jeirry Sumampow (TePi Indonesia), Arif Susanto (Exposit Strategic), dan Lucius Karus (FORMAPPI Indonesia).
Padahal menurut mereka:
1. Penyelenggara Pemilu dalam hal ini Bawaslu dan KPU menerapkan hukum yang berbeda dalam kasus yang sama. Pada kasus Kota Banjar Penggunaan program pemerintah dengan menggunakan tak-line yang sama dengan tak-line kampanye. Namun tidak dipermasalahkan. Begitu pun Papua Barat Daya, Calon Gubernurnya di diskualifikasi, tapi calon wakil gubernurnya tidak didiskualifikasi.
Sama halnya di Nias Utara Sumatra Utara, calon tunggal melakukan rotasi jabatan 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon. Bawaslu sudah merekomendasikan kepada KPU, namun KPU tidak menindaklanjuti.
2. Kasus Pilkada Kota Banjar Baru sangat membingungkan. Karena tidak masuk ke dalam kategori pasangan calon tunggal, namun dalam pelaksanaannya masyarakat dihadapkan pada pasangan calon tunggal. Karena pada hari pemungutan suara hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Karena calon yang satu lagi sudah didiskualifikasi.
3. Walaupun pada pelaksanaannya diikuti oleh satu pasangan calon pada Pilkada Kota Banjar Baru, namun perlakuan dalam pemungutan dan penghitungan suara berbeda dengan pasangan calon tunggal. Di mana suara yang diperoleh pasangan calon yang di diskualifikasi dianggap tidak sah dan yang dianggap sah hanya suara yang diperoleh pasangan yang tidak didiskualifikasi
4. Pilkada Kota Banjar Baru tidak hanya tidak masuk akal dan tidak rasional, namun sudah menjungkirbalikkan logika dan rasionalitas. Karena setelah KPU mendiskualifikasi salah satu pasangan calon pemenangnya sudah bisa dipastikan. Hal itu disebabkan, setelah salah satu pasangan calon didiskualifikasi, pemenangannya sudah bisa diketahui, dengan berapa pun yang memilih pasangan calon yang tidak didiskualifikasi, bahkan dipastikan kemenangannya 100 persen, dan,
5. PKPU yang tidak jelas dan ugal-ugalan.