Prof. Amir Santoso (net)
Oleh : Prof. Amir Santoso
Presiden itu adalah pejabat tinggi negara. Dia bukan raja atau sultan yang diangkat berdasar keturunan, biasanya setelah terjadi penaklukan. Komandan penakluk biasanya ditahbiskan sebagai raja atau sultan. Untuk menjaga wibawanya, seorang raja atau sultan baru akan membikin mitos bahwa dirinya adalah keturunan dewa dan manusia terpilih yang suci dan harus disucikan. Diadakanlah berbagai aturan agar rakyat menyembah kepada raja dan keturunannya.
Sebab itu ada negara yang menerapkan hukum penjara bagi rakyat yang menghina raja atau sultan. Ada juga bangsa yang menganggap rajanya sebagai keturunan dewa tertentu. Tentunya semua itu dibuat berdasarkan hikayat turun temurun yang kemudian menjadi mitos. Mitos seperti itu tidak butuh pembenaran akal. Sebab tujuannya hanya untuk menumbuhkan kesucian raja atau sultan beserta keluarganya untuk memperoleh legitimasi atas kekuasaannya
Tapi presiden bukan raja. Presiden adalah pejabat tinggi negara dan pemerintahan yang dipilih oleh rakyat atau oleh parlemen. Dia juga tidak boleh dianggap sebagai Putra terbaik bangsa. Dia orang biasa yang kita percayai untuk memimpin kita. Bukan karena dia yang terbaik karena pasti banyak warganegara yang lebih baik darinya. Presiden juga bukan orang paling pintar dari segi keilmuan,karena pasti banyak yang juga pintar bahkan lebih pintar daripada presiden.
Dia menjadi presiden karena diajukan oleh partainya, atau oleh koalisi beberapa partai untuk ikut dalam pilpres. Mayoritas publik memilih salah satu dari calon presiden yang diajukan oleh parpol2 karena, biasanya calon tersebut adalah yang terbaik diantara calon-calon presiden lainnya. Jadi bukan putra terbaik bangsa. Dia adalah orang yang dianggap terbaik dari dua atau lebih capres yang diajukan parpol.
Inipun jika presiden itu dipilih melalui pilpres yang jurdil dan terbuka. Makin bisa dianggap bukan putra terbaik bangsa jika presiden itu dibikin menang melalui pilpres yang curang, bagi-bagi uang dan bansos dan melalui pemaksaan oleh birokrasi pemerintah.
Sebab itu berhentilah menggunakan istilah presiden sebagai putra terbaik bangsa. Berhentilah untuk takut mengkritisi kebijakan, prilaku dan ucapan-ucapan presiden jika semua itu merugikan kita, menyengsarakan kehidupan kita dan merugikan kita. Presiden itu adalah orang yang kita beri amanah untuk memperjuangkan kepentingan bangsa dan tanah air. Kalau dia melenceng atau berkolaborasi dengan pihak asing untuk merugikan bangsa dan tanah air kita, maka kita wajib mengoreksinya. Jangan dibiarkan hanya karena kira anggap dia sebagai putra terbaik bangsa.
Berhentilah mengekalkan cara berpikir dan berprilaku feudal yang menganggap presiden sebagai raja yang patut dicium tangannya dan dielu-elukan. Bukan hanya terhadap presiden tapi juga terhadap para menteri dan pejabat tinggi pemerintah. Mereka semua adalah sama dengan kita. Malahan kita sebenarnya lebih tinggi posisinya daripada mereka karena kitalah yang mengangkat mereka, memberi wewenang kepada mereka untuk mengeluarkan kebijakan atas nama kita, menggaji mereka dan memberikan fasilitas dari pajak yang kita bayar.
Berhentilah, nencium tangan, tangan ngapurancang dan membungkukkan badan di depan presiden dan pejabat pemerintah tersebut. Itu semua adalah sikap kita dulu saat jaman kerajaan dan dan kesultanan. Saat ini kita menerapkan demokrasi yang maknanya adalah kebebasan, kesetaraan dan pengawasan rakyat terhadap pemerintah dan birokrasinya.
Jangan biarkan para pejabat tersebut bersikap sewenang-wenang terhadap kita. Kalau mereka membiarkan laut kita dipagari sehingga kita tdk bisa lagi mencari hasil laut, minta terus menerus kepada aparat pemerintah untuk mencabut pagar itu hingga permintaan kita ditanggapi oleh aparat. Kalau tanah dan rumah kita diambil paksa oleh pihak lain tanpa hak, jangan berdiam diri.
Sebenarnya pelajaran pertama demokrasi adalah jangan percaya terhadap pemerintah. Artinya jangan berhenti dan jangan lelah mengawasi pemerintah. Sebab pemerintah itu atas nama manusia biasa yang bisa lalai dan bisa bersikap semena-mena terhadap kita jika kita takut melawannya.
Kewajiban kita adalah mengawasi n mengoreksi para pejabat jika mereka mulai lalai atau berlaku ewenang wenang. Dalam demokrasi, tulis Bung Hatta, yang berlaku adalah Daulat Rakyat bukan Daulat Tuanku. (Penulis adalah Guru Besar Ilmu Politik FISIP.UI, mantan Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta)