JAKARTA, REPORTER.ID – Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan betapa licinnya pelaku aktivitas keuangan ilegal, sehingga susah diberantas tuntas. Selain karena kebanyakan para pelaku berada di luar negeri dan selalu memperbarui modus serta teknologi untuk menghindari hukuman sehingga menyulitkan memberantas tuntas fraud dalam aktivitas keuangan.
Menyoroti pernyataan OJK tersebut, Asep Dahlan, analis senior dari DahlanConsultant dihubungi, Senin (14/4/2025) menegaskan bahwa langkah pencegahan sangat mendesak untuk dilakukan di tengah makin maraknya praktik keuangan ilegal yang merugikan masyarakat.
“Kita butuh Satgas Nasional yang kuat, lintas sektor, dan punya kewenangan eksekutif. Tanpa itu, semua regulasi akan mandek di tataran birokrasi,” ujarnya.
Apalagi, lanjut Asep Dahlan, pemerintah tengah menyiapkan langkah serius dalam memberantas aktivitas keuangan ilegal seperti investasi bodong dan pinjaman online tanpa izin. Bahkan, peta jalan (roadmap) nasional bertajuk “Strategi Pemberantasan Keuangan Ilegal 2025–2030” telah dibahas lintas lembaga.
“Roadmap yang dirancang pemerintah mencakup empat tahap besar, dimulai dari penguatan regulasi hingga edukasi masyarakat. Di antaranya, pembentukan pengadilan khusus, pelaporan transaksi mencurigakan secara real-time, dan pengembangan sistem whistleblower anonim,” sebut dia lagi.
Asep Dahlan yang akrab disapa Kang Dahlan itu juga menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi, seperti big data, Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence/AI dan integrasi antar sistem.
“Menurut saya, big data, AI, dan integrasi antar sistem harus jadi tulang punggung pemantauan. Kalau masih manual, para pelaku akan selalu satu langkah di depan,” katanya lagi.
Selain langkah teknis, ia juga menyoroti pentingnya edukasi finansial di tingkat akar rumput, yakni masyarakat perlu paham bahwa tidak semua yang menawarkan cuan cepat itu legal.
“Jadi, program literasi oleh lembaga-lembaga terkait harus dijalankan masif, bahkan di sekolah. Terlebih, pemerintah menargetkan penurunan aktivitas keuangan ilegal lebih dari 50 persen dalam lima tahun pertama implementasi roadmap. Jika berhasil, ini akan menjadi terobosan besar menuju sistem keuangan yang lebih transparan dan inklusif,” tutup Asep Dahlan.
Sulit Berantas Tuntas Fraud
Sebelumnya, Anggota Dewan Komision OJK, Friderica Widyasari Dewi dalam Konferensi Pers RDK Bulanan (RDKB) Maret 2025, pada Jumat (11/4/2025) mengatakan faktor penting dari sulitnya memberantas tuntas fraud dalam aktivitas keuangan adalah masih minimnya pemahaman masyarakat sehingga mudah tergoda saat ditawari modus penipuan.
“Juga yang utama juga masih belum memadainya pemahaman masyarakat terhadap bahaya dari penawaran-penawaran ilegal seperti ini,” tutur Kiki, sapaan akrab Feredica Widyasari Dewi itu.
Sementara itu, dalam upaya pemberantasan aktivitas keuangan ilegal hingga 14 Maret 2025, OJK telah menerima 9.068 pengaduan. Sebanyak 3.383 pengaduan terkait industri perbankan, 3.303 pengaduan soal fintech, 1.941 pengaduan soal perusahaan pembiayaan, 317 pengaduan asuransi, dan 124 pengaduan industri keuangan nonbank lainnya.
Sebanyak 79,51% pengaduan dapat diselesaikan melalui internal dispute, sedangkan 20,49% dalam proses penyelesaian. Dari 9.068 pengaduan, OJK menemukan 520 indikasi pelanggaran, 542 sengketa yang masuk dalam Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan.
Bahkan, Indonesia Anti Scam Center mendapatkan 79.969 laporan aduan konsumen sepanjang 1 Januari-31 Maret 2025. Sebanyak 82.336 rekening dilaporkan dan 35.394 rekening diblokir.
Kerugian masyarakat dari laporan tersebut mencapai Rp 1,7 triliun. “Dengan dana korban Rp 134,7 miliar diblokir. OJK pun telah memberikan sanksi administrasi berupa 35 peringatan tertulis kepada 31 pelaku usaha jasa keuangan dan 21 sanksi denda kepada 20 perusahaan,” demikian Komisaris OJK. ***