JAKARTA,REPORTER.ID – Wacana revisi UU Pemilu kembali menemui jalan buntu di DPR RI. Padahal, kebutuhan akan revisi ini bukan hanya sekadar agenda legislasi rutin, melainkan untuk menjawab tantangan serius dalam menjaga integritas dan kualitas demokrasi elektoral di Indonesia.
“Secara faktual, kita semua sudah tahu bahwa UU Pemilu No. 7/2017 yang ada saat ini masih menyimpan banyak persoalan. Mulai dari sistem proporsional terbuka yang rawan jual beli suara, membuka ruang lebar bagi politik transaksional, lemahnya pengawasan terhadap dana kampanye, banyaknya tumpang tindih aturan teknis yang menyulitkan kerja penyelenggara, dst. Belum lagi terkait dengan mandulnya penegakan hukum; pelanggaran pemilu yang terus berulang, namun tidak bisa diberi sanksi hukum yang tegas dan efektif oleh pihak yang berwewenang. Begitu juga, UU tersebut sudah banyak mendapatkan perbaikan akibat gugatan di MK,” demikian Jeirry Sumampow, Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Selasa (6/5/2025).
Sayangnya lanjut Jeirry, DPR RI terlihat gamang dan cenderung abai terhadap kondisi tersebut, dengan menunda-nunda pembahasan revisi ini. Ketika ruang partisipasi publik dan usulan perbaikan dari akademisi, pegiat pemilu, masyarakat sipil, dan penyelenggara pemilu tak kunjung mendapat respons konkret, publik pun bisa mulai mempertanyakan kesungguhan DPR dalam memperbaiki sistem pemilu kita.
“Kemandekan ini menimbulkan dugaan bahwa ada kepentingan politik tertentu yang merasa diuntungkan oleh sistem yang berlaku sekarang. Bagi partai-partai yang tergabung dalam koalisi besar pendukung pemerintah, status quo mungkin terasa nyaman dan karena itu tetap mau dipertahankan. Tetapi bagi kita sebagai rakyat, sistem yang tidak adil justru melemahkan partisipasi dan kepercayaan terhadap pemilu dan demokrasi itu sendiri. Ujungnya bisa memunculkan apatisme publik yang lebih masif,” ujarnya.
Karena itu, menurut dia, revisi UU Pemilu harus menjadi agenda prioritas, bukan sekedar komoditas politik yang dipertaruhkan menjelang pemilihan. Rakyat berhak atas sistem pemilu yang lebih adil, lebih bersih, dan lebih demokratis. Jika DPR RI terus menunda-nunda, maka wajar jika publik mencurigai bahwa demokrasi kita tengah dijalankan bukan demi rakyat, tetapi demi elite yang ingin tetap mempertahankan kekuasaan mereka semata.
Dikatakan, sebagai pemilik kedaulatan, publik perlu lebih aktif bersuara dan menekan parlemen agar tidak mengabaikan tanggung jawabnya. Jika DPR terus abai, maka publik berhak curiga bahwa kemandekan ini disengaja demi kepentingan status quo dan kekuasaan. Dan ketika hukum pemilu tak lagi bisa menjamin keadilan elektoral maka yang terancam bukan hanya kualitas pemilu, tapi legitimasi demokrasi itu sendiri.
Untuk itu, kami menyeruhkan beberapa hal, sebagai berikut:
1. Pimpinan DPR Harus Segera Bertindak! Ketidakjelasan penunjukan alat kelengkapan DPR yang akan membahas revisi UU Pemilu hanya memperlihatkan lemahnya komitmen politik terhadap reformasi kepemiluan. Pimpinan DPR RI tidak boleh terus membiarkan tarik-menarik antara Baleg dan Komisi II berlarut-larut.
2. Segera Tunjuk Komisi yang Berkompeten. Secara substansi Komisi II DPR RI yang selama ini menjadi mitra KPU, Bawaslu, dan DKPP dinilai paling tepat dan memiliki kapasitas substansial untuk membahas revisi UU Pemilu. Penunjukan Komisi II juga akan mempermudah koordinasi teknis dan substansi.
3. Hentikan Konflik Kewenangan yang Tidak Produktif. Tarik-menarik antara Baleg dan Komisi II adalah bentuk inefisiensi politik yang kontraproduktif. Demokrasi dan kepentingan rakyat tak boleh menjadi korban dari ego kelembagaan di internal DPR.
4. Jangan Gunakan Kebuntuan Sebagai Alibi untuk Tidak Bersikap. Kemandekan ini rawan dimanfaatkan untuk menunda pembahasan secara sistematis. Pimpinan DPR RI harus menunjukkan kepemimpinan dengan mengakhiri kebuntuan ini dan mempercepat proses.
5. Dorong Konsultasi Politik Fraksi untuk Kesepakatan Segera. Semua fraksi harus duduk bersama dalam forum konsultasi politik yang difasilitasi pimpinan DPR untuk memutuskan jalur pembahasan revisi UU Pemilu secara demokratis dan terbuka.
6. Pastikan Proses Berjalan Sebelum Tahapan Pemilu Dimulai. Semakin lama dibiarkan, semakin besar risiko pembahasan revisi bertabrakan dengan tahapan Pemilu 2029. Ini bisa memicu instabilitas hukum, ketidakpastian dan kebingungan teknis lainnya.