Demi Kedaulatan Negara, DPR RI Desak RUU Pangan Putus Ketergantungan Impor dan Lemahnya Perlindungan Petani

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID – Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Pangan demi memperkuat kedaulatan pangan nasional dan menanggulangi ketergantungan impor yang dinilainya semakin akut. Apalagi ketahanan pangan itu sebagai wujud kedaulatan negara.

Johan Rosehan mengutip prsan Bung Karno itu dalam dalam Forum Legislasi bertema “DPR RI Segera Bahas RUU Pangan untuk Mendukung Program Pemerintah” di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025) bersama anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo. Johan mengkritik keras lemahnya arah kebijakan pangan nasional dan dominasi pasar impor yang menurutnya menggerus produksi dalam negeri.

“Bung Karno bilang, pangan itu hidup matinya kedaulatan sebuah negara. Tapi undang-undang kita belum mampu menjamin ketahanan, apalagi kedaulatan pangan, karena itu UU Pangan harus segera direvisi untuk tata kelola pangan ini,” kata Johan.

Menurut politisi dari Fraksi PKS itu, Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 gagal menekan dominasi produk impor, serta tak memberikan sanksi tegas bagi praktik impor berlebih yang merugikan petani lokal. Ia menyebut bahwa revisi undang-undang ini harus berangkat dari prinsip konstitusional, yakni perlindungan rakyat dan penguasaan negara atas sumber daya pangan.

“Negara tidak boleh menyerahkan urusan pangan kepada mekanisme pasar semata. Negara harus hadir, memimpin, dan menjamin bahwa rakyat terlindungi dalam urusan pangan,” tegas Johan lagi.

Johan menguraikan tiga kelemahan utama dalam UU Pangan 2012: lemahnya orientasi pada produksi nasional, tiadanya sanksi untuk impor yang berlebihan, dan tidak adanya penguatan terhadap pasal 33 UUD 1945 tentang penguasaan negara atas sumber daya alam.

Selain itu, Ia menyoroti lemahnya kebijakan cadangan pangan. “Bulog hanya diberi kuota menyerap 3 juta ton dari total produksi 19 juta ton. Lalu, nasib 16 juta ton produksi petani ke mana? Dan, kebijakan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) yang tak berpihak pada mayoritas petani,” jelas Johan.

Johan juga mempertanyakan klaim pemerintah soal penghentian impor beras. “Kalau benar kita bisa mempengaruhi harga beras dunia, mengapa harga dalam negeri masih tinggi?” katanya sambil mengingatkan bahwa Indonesia masih bergantung pada impor kedelai, gula, daging, dan bawang putih.

Menuju Swasembada Nyata, Bukan Omon – Omon

RUU Pangan, lanjut Johan, harus menegaskan batasan kuantitatif dan prosedur ketat dalam kebijakan impor. Ia menyerukan perumusan strategi swasembada pangan yang bukan hanya wacana politik, tapi langkah berdaulat dalam menghadapi krisis global, konflik geopolitik, dan perubahan iklim.

Ia menyarankan adanya reformasi kelembagaan, termasuk pembentukan Kementerian Pangan sebagai institusi teknis yang menggabungkan fungsi Bulog dan Bappenas dalam urusan pangan. “Tapi Bulog harus tetap ada dan diperkuat sebagai instrumen pemerintah,” ujarnya.

Dengan demikian, Johan mengusulkan desain besar (grand design) empat pilar strategis ketahanan pangan: produksi yang berdaulat dan berkelanjutan, distribusi yang adil dan terkendali, konsumsi yang bergizi dan berbasis lokal, serta cadangan yang tangguh dan mandiri. Ia mendorong agar penetapan lahan pertanian berkelanjutan menjadi prioritas nasional dan terintegrasi dalam tata ruang wilayah.

“Pangan adalah urusan hidup mati bangsa. Negara harus berada di depan. Ini bukan sekadar kebijakan, tapi mandat konstitusi,” pungkas Johan.