MPR Mendukung Pembentukan Lembaga Khusus Atasi Krisis Iklim dan Percepat Transisi Energi

oleh

JAKARTA,REPORTER.ID  – Dampak perubahan iklim semakin nyata dirasakan di berbagai wilayah Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Sehingga banyak terjadi bencana cuaca ekstrem, banjir besar, angin kencang, longsor, polusi udara, hingga persoalan sampah menjadi tantangan serius yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, percepatan transisi energi dinilai belum sepenuhnya mampu mengoptimalkan potensi besar energi terbarukan yang dimiliki Indonesia.

Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno, menilai persoalan utama dalam pengelolaan energi dan penanganan perubahan iklim terletak pada level kebijakan. Menurutnya, ada tiga hal mendasar yang perlu segera diperbaiki, yaitu koordinasi kebijakan (policy coordination), kejelasan kebijakan (policy clarity), dan konsistensi kebijakan (policy consistency).

“Kini masih terjadi tumpang tindih antara koordinasi di kementerian dalam pengelolaan ekonomi karbon. Untuk bisa masuk ke sektor karbon, pelaku usaha masih harus berurusan dengan empat kementerian koordinator dan belasan kementerian teknis. Dengan struktur itu, sulit bagi Indonesia untuk bergerak cepat. Karena itu, dibutuhkan upaya khusus agar Indonesia bisa menjadi pemimpin global di bidang iklim, sebagaimana visi Presiden Prabowo,” tegas Eddy pada wartawan di Gedung MPR RI Senayan Jakarta, Senin (13/10/2025).

Hal itu disampaikan Eddy seusai Pre Launching 2 Indonesia Climate Change Forum 2025 bertema “Masukan dan Harapan Pemangku Kepentingan Publik Untuk RUU Pengelolaan Perubahan Iklim.”

Selain Eddy Soeparno hadir sebagai prmbicara antara lain: Erik Teguh Primiantoro (Staf Ahli Menteri LH Bidang Hubungan Internasional dan Diplomasi), Fabby Tumiwa (Direktur Eksekutif IESR), Prof. Supriatna (Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan UI),. E Kurniawan Padma (Presiden Direktur Emil Salim Institute), Adhityani Putri (Pendiri Yayasan Indonesia Cerah), dan Direktur Eksektif Habibie Center, Nadia Sofia Habibie.

Sebagai solusi, politisi PAN itu mengusulkan pembentukan lembaga khusus atau bahkan kementerian baru yang memiliki mandat mengoordinasikan kebijakan ekonomi karbon dan pengelolaan perubahan iklim lintas sektor. “Keberadaan lembaga tunggal akan memastikan langkah mitigasi krisis iklim dan transisi energi berjalan lebih terpadu,” ujarnya.

Dengan adanya otoritas yang jelas, Indonesia akan memiliki kredibilitas instan di mata dunia, menunjukkan keseriusan menghadapi krisis iklim sekaligus membuka peluang ekonomi baru dari investasi hijau dan pendanaan global. “Saat ini Indonesia tidak lagi sekadar berhadapan dengan “perubahan iklim”, melainkan sudah memasuki fase krisis iklim yang membutuhkan penanganan cepat, sistematis, dan menjadi prioritas utama negara,” jelas Eddy.

Selain mendorong pembentukan lembaga khusus, Eddy juga menekankan pentingnya percepatan regulasi yang mendukung transisi energi bersih. DPR dan pemerintah tengah membahas empat rancangan undang-undang strategis terkait, yaitu RUU Energi Terbarukan, RUU Ketenagalistrikan, RUU Migas, dan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim.

RUU terakhir, merupakan inisiatif Fraksi PAN, telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026 dan ditargetkan rampung pada tahun depan. “Dengan regulasi yang kuat dan koordinasi kebijakan yang terintegrasi, Indonesia dapat mempercepat transisi energi sekaligus memperkokoh posisi dalam kerja sama global menghadapi krisis iklim,” kata Sekjen PAN itu.

Eddy menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia memiliki seluruh modal untuk memimpin transformasi energi bersih di tingkat global. Namun, hal itu hanya dapat terwujud jika dikelola di bawah satu payung kelembagaan yang kuat dan visioner.

“Krisis iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan. Tapi, sudah menjadi isu eksistensial bagi bangsa. Karena itu, Indonesia memerlukan kementerian atau lembaga khusus yang mampu menjembatani kebijakan lintas sektor, agar kita bukan hanya mampu bertahan, tapi juga menjadi pemimpin dalam ekonomi hijau,” pungkasnya.