JAKARTA, REPORTER.ID – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menyebut fase kritis pertama kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia pada 2020 ini sudah berlalu. Penggunaan teknologi modifikasi cuaca (TMC) sejak dini, ujarnya, berperan banyak dalam menurunkan jumlah titik api hingga 39 persen dibanding tahun sebelumnya.
“Kita sudah melewati fase kritis pertama di Riau. Ini penting karena fase pertama krisis itu ada Covid, sudah gitu ada lebaran. Maka kita coba atasi. Bapak Presiden perintahkan jangan ada masalah di hari lebaran,” kata Siti Nurbaya usai rapat terbatas terkait pencegahan karhutla, di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin.
Menteri dari NasDem ini menjelaskan sejumlah wilayah rawan karhutla tiap tahun, misalnya Aceh, sebagian Sumatera Utara, dan Riau yang biasanya melalui dua fase kritis. Fase pertama karhutla di wilayah itu, kata dia, pada Maret-April. Sementara fase kedua terjadi pada Juni, Juli, dengan prediksi puncak pada Agustus akhir sampai September.
Dikutip dari siaran persnya, fase kritis pertama itu terlewati berkat upaya pencegahan dini karhutla dengan berbekal analisis dan rekomendasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Bahwa, musim kemarau 2020 dimulai sejak Juni dan mencapai puncaknya pada Agustus.
Upayanya dilakukan lewat rekayasa jumlah hari hujan untuk pembasahan gambut yang rentan terbakar melalui TMC di provinsi-provinsi rawan karhutla, seperti Riau, Sumatra Selatan, Jambi. Selain untuk membasahi gambut yang rawan terbakar, rekayasa jumlah hari hujan ini dimaksudkan untuk mengisi embung dan kanal, dengan memanfaatkan potensi awan hujan.
Siti melanjutkan modifikasi cuaca ini dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan didukung pesawat TNI AU, di sejumlah titik di Sumatra, 13 hingga 31 Mei.
“Modifikasi cuaca itu bisa berpengaruh membasahi gambut, memberi air untuk embung-embung yang dibangun. Dengan yang sudah kita lalui di Riau itu basah gambutnya sehingga kita enggak dapat asap-asap itu,” jelas dia.
Mantan Sekjen DPD RI ini juga memastikan akan melanjutkan teknologi modifikasi cuaca ini di Kalimantan yang diprediksi akan mengalami puncak musim kemarau pada Juli-Agustus.
“Kita akan lakukan lagi di Kalimantan. Ini sudah disiapkan dan akan didukung BNPB, BPPT, BMKG, TNI, dengan arahan Pak Menko (Polhukam),” katanya.
Kepala BPPT Hammam Riza menyatakan rekayasa hari hujan melalui TMC, pada periode Maret-Mei, dapat mempertahankan ketiadaan hotspot atau titik api serta dapat meningkatkan Tinggi Muka Air (TMA) pada lahan gambut. ***