JAKARTA, REPORTER.ID- Tanggal 13 Agustus 2021 ini tepat 46 tahun Museum Wayang di Jl Pintu Besar Utara No. 27 dan 29, Jakarta Kota Tua. Museum yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu kini telah berkembang lebih luas sejak tahun 2003 setelah mendapat hibah tanah dan bangunan di sebelah utaranya dari pengusaha nasional H Probosutedjo.
Sehingga yang tadinya satu gedung nomor 27, kini menjadi dua gedung dengan fasad yang hampir sama. Alamatnya juga sedikit berubah menjadi Jl Pintu Besar Utara no.27 dan 29, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat.
Menurut sejarah bangunan Museum Wayang yang bernomor 27 itu dahulunya merupakan gereja tua yang didirikan VOC pada tahun 1640 dengan nama ‘de Oude Hollandsche Kerk’ atau Gereja Belanda Tua. Hingga tahun 1732 gedung ini berfungsi sebagai tempat peribadatan penduduk sipil dan tentara Belanda yang tinggal di Batavia.
Pada tahun 1733 gereja tersebut dipugar dan namanya diubah menjadi “de Nieuwe Hollandsche Kerk” yang berdiri sampai tahun 1808.
Di halaman gereja yang kini menjadi taman terbuka Museum Wayang terdapat prasasti-prasasti yang berjumlah 9 (sembilan) buah, menyuratkan nama-nama pejabat Belanda yang pernah dimakamkan di situ, antara lain Jan Pieterzoon Coen.
Namun bangunan lama itu rusak akibat gempa. Selanjutnya dibangun kembali gedung baru yang difungsikan sebagai gudang milik perusahaan Geo Wehry & Co. Bagian depannya yaitu fasad gedung tersebut dibangun tahun 1912 dengan gaya Noe Reinaissance.
Pada 14 Agustus 1936 gedung beserta tanahnya ditetapkan menjadi monumen. Selanjutnya dibeli oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) yaitu lembaga independen yang bertujuan memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang-bidang ilmu biologi, fisika, arkeologi dan kesusastraan.
Pada tahun 1937 lembaga tersebut menyerahkan gedung kepada Stichting oud Batavia dan kemudian dijadikan museum dengan nama “de oude Bataviasche Museum “ atau Museum Batavia Lama.
Pada tahun 1972 Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menetapkan agar gedung gedung tua tetap dilestarikan.
Dimulai dengan gedung Balaikota Batavia yang dibangun tahun 1707 -1710 di Taman Fatahillah, pada tahun 1974 diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah. Koleksi di Museum Batavia Lama diboyong ke museum baru tersebut.
Berikutnya 13 Agustus 1975 gedung bekas Museum Batavia Lama diresmikan menjadi Museum Wayang hingga sekarang.
Mantan Kepala Museum Wayang tahun 1999 -2008 Rini Hariani kepada Reporter.id mengungkapkan Kamis (12/8/2021), banyak suka duka yang menjadi kenangan indah nan tak terlupakan saat bertugas di situ.
“Yang paling berkesan pada saat ada pergelaran wayang kulit semalam suntuk. Kami ramai-ramai harus menginap di kantor,” kata Rini sambil tersenyum renyah.
Hal itu dibenarkan Ruslan (38) karyawan PJLP Museum Wayang yang bertugas sejak 2003 hingga sekarang.
“Saya di sini sejak Bu Rini, sampai Bu Maya, Bu Esti dan Bu Atiek,” tutur Ruslan.
Dulu, tambahnya, pergelaran wayang kulit di lantai atas belakang yang kini untuk gudang penyimpan koleksi wayang.
Sebelum 2006, museum ini masih menggunakan gedung lama yang luas lantainya atas dan bawah hanya sekitar 900 m2. Sementara kini luas lantainya sudah menjadi sekitar 1.500 m2 berikut gedung hibah dari Probosutedjo.
Rini Hariani tidak ingat persisnya hibah gedung tahun 2003 tersebut. Yang jelas acara penyerahan aset kepada Pemprov DKI c/q Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta itu disaksikan mantan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Kepala Satuan Pelayanan Museum Wayang Sumardi menunjukkan prasasti serah terima gedung dan tanah dari H Probosutedjo kepada Wakil Gubernur DKI Jakarta H Fauzi Bowo masih dapat disaksikan di museum ini.
Penulis sendiri juga hadir pada acara penyerahan gedung tersebut. Terlebih lagi gedung yang diserahkan untuk perluasan Museum Wayang itu tahun 1993-1997 pernah menjadi kantor keuangan dan periklanan Harian Umum Berita Buana, tempat penulis bekerja sebagai wartawan saat itu.
Dalam acara tersebut terdengar selentingan bahwa seni budaya wayang Indonesia akan menjadi warisan budaya dunia non benda yang diakui UNESCO.
Ternyata benar. Pada tanggal 7 November 2003 seni budaya wayang Indonesia ditetapkan oleh UNESCO, Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan PBB yang bermarkas di Paris sebagai Masterpiece of Oral Intangible of Humanity.
Setelah diperjuangkan oleh Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) dan Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) selama lebih 14 tahun, maka akhirnya tanggal 7 November diakui sebagai Hari Wayang Nasional.
Pengakuan itu ditetapkan pada 11 Desember 2018 dengan Keppres No.30/2018.
Sejak itu tiap 7 November oleh masyarakat wayang dirayakan dengan berbagai kegiatan dan pergelaran.
OTW Live On
Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke 46 Museum Wayang tahun ini, pada Sabtu (14/8/2021) diselenggarakan acara live streaming Obrolan Tentang Wayang (OTW) bertajuk Aji Candra Birawa dengan pembicara Ki Sumardi dan pembawa acara Intan Cahyanita.
Ki Sumardi yang juga menjabat Kepala Satuan Pelayanan Museum Wayang mengakui sebelum pandemi pihaknya tiap hari Minggu menyuguhkan pergelaran wayang dari berbagai daerah secara bergantian di auditorium museum tersebut yang berada di gedung utara.
Ki Gede Adi Putra seorang dalang wayang kulit Bali mengakui dia mendapat kesempatan tampil di museum ini secara rutin tiap tahun 2 kali, baik wayang kulit maupun wayang orang Bali. “Saya mendalang mulai tahun 2010,” tambahnya.
Lelaki asal Bali ini mengakui keberadaan Museum Wayang di Jakarta ini cukup memberikan inspirasi positif bagi pengunjungnya.
“Dirgahayu Museum Wayang, Dirgahayu Republik Indonesia,” seru Gede.
Demikian pula dengan Eko Sunaryo (76) anggota grup karawitan Saeko Budoyo Jakarta Timur.
Eko mengakui dengan auditorium yang berkapasitas sekitar 120 orang penonton itu Museum Wayang istiqomah melestarikan wayang dengan mengadakan pertunjukan live setiap hari Minggu. “Saya bersama grup Saeko Budoyo kebagian jatah main 3 atau 4 bulan sekali,” kata Eko penabuh bonang tersebut.
Minat masyarakat pada museum yang memiliki koleksi 6.863 buah wayang kulit, wayang golek, topeng, gamelan dan peralatan wayang ini cukup besar.
Tercatat pada tahun 2019 pengunjungnya rata rata 1.139 orang/hari. Namun, tahun 2020 karena pandemi Covid 19 , turun drastis tinggal 160 orang/hari termasuk warga asing.
Tak dapat membayangkan bagaimana jadinya jikalau Museum Wayang ini tidak diperluas dengan tanah dan bangunan tambahan hibah dari Probosutedjo tahun 2003. Betapa sempitnya, dengan koleksi dan pengunjung sebegitu banyak.
Karena itu sudah tiba saatnya Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini Dinas Kebudayaan DKI untuk merealisasikan wacana yang pernah saya dengar bahwa salah satu ruang di Museum Wayang itu akan diberi nama Probosutedjo sebagai pengharhagaan atas jasa menghibahkan asetnya tersebut untuk kelestarian dan pengembangan wayang.
Rasanya akan pas kalau auditorium museum yang selama ini tanpa nama, disematkan nama Probosutedjo secara abadi. (Suprihardjo).