Kasus Muhammad Kece dan Yahya Waloni: Momentum Pelembagaan Pemidanaan Hasutan dan Kebencian

oleh

JAKARTA, REPORTER.ID – Muhammad Kece ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri di Bali pada 24 Agustus 2021. Dua hari berselang (26/8), Bareskrim menangkap Yahya Waloni. Keterangan pihak Bareskrim Polri, keduanya dijerat dengan pasal penodaan agama.

Berkaitan dengan dua kasus penangkapan tersebut, ada catatan penting SETARA Institute: yaitu, Pertama, SETARA Institute mengapresiasi langkah penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian atas tindakan figur publik yang menggunakan sentimen keagamaan untuk memantik segregasi lintas iman, memprovokasi eksklusi, mengancam kohesi sosial, dan merusak koeksistensi damai dalam kebinekaan.

“Namun demikian, SETARA Institute menilai bahwa pengguna pasal penodaan agama untuk menjerat para tersangka bukanlah tindakan yang tepat,” demikian disampaikan Ketua SETARA Institute, Hendardi di Jakarta, Jumat (27/8/2021).

Kedua, SETARA Institute mendorong Polri untuk melakukan moratorium penggunaan pasal penodaan agama. Pihak Kepolisian, dalam pandangan SETARA Institute, mesti melakukan terobosan hukum untuk menjerat keduanya dengan pasal-pasal hasutan dan kebencian yang ada, baik dalam KUHP maupun di luar KUHP.

Ketiga, dalam penelitian SETARA Institute, pasal-pasal penodaan agama lebih banyak digunakan untuk menghukum perorangan dan melindungi kelembagaan agama. Akibatnya, pasal-pasal penodaan agama tidak memberikan jaminan perlindungan atas hak perseorangan untuk menikmati pilihan merdeka berdasarkan hati nurani (conscience) untuk memeluk agama atau berkeyakinan. Bahkan yang sering terjadi, pasal-pasal penodaan agama digunakan untuk menghukum interpretasi perseorangan yang berbeda dari keyakinan keagamaan arus utama (mainstream).

Padahal, lanjut Hendardi, dalam prinsip dasar hukum internasional jelas bahwa yang harus dilindungi bukanlah agama, tetapi kebebasan perorangan yang menganut agama tertentu. Karena itu pilihan bebas dan berdasarkan hati nurani tidak boleh seseorang atau kelompok direndahkan hanya karena pilihannya itu.

Oleh karena itu kata dia, Indonesia dan aparat hukumnya sebagai bagian dari negara beradab dalam komunitas internasional mestinya menghentikan penggunaan pasal-pasal penodaan agama.

Keempat, dalam penelitian SETARA Institute mengenai rezim penodaan agama (1965-2017), penegakan hukum menggunakan pasal-pasal penodaan agama seringkali mengekalkan pendekatan mayoritas dan minoritas di negeri. Penegakan hukum pidana sering dilakukan dengan tebang pilih terhadap pelaku dan kasus tertentu. Beberapa kasus yang mana pelaku dari kelompok agama mayoritas yang merendahkan penganut agama minoritas tidak pernah diproses hukum. Kasus Yahya Waloni merupakan contoh nyata, yang mana ceramah-ceramah Yahya Waloni sudah sangat lama dipersoalkan karena merendahkan iman Kristiani dan dilaporkan ke kepolisian.

Demikian pula dengan beberapa ceramah Abdus Somad yang dinilai merendahkan. Namun, polisi baru memproses Yahya Waloni setelah mengemuka kasus Muhammad Kece yang merendahkan simbol, ritus, dan doktrin keislaman.

Kelima, SETARA Institute memandang bahwa kasus Muhammad Kece dan Yahya Waloni adalah momentum untuk melembagakan penggunaan pasal-pasal hasutan dan kebencian berdasarkan agama. Polri sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggunakan pasal-pasal hasutan dan kebencian berdasarkan agama, sebagai pengganti pasal-pasal penodaan agama yang sumir dan tidak memberikan kepastian hukum (lex certa).

Polri lanjut Hendardi, mesti menjadikan Surat Edaran Kapolri No 6 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) sebagai prosedur operasional standar dalam penanganan kasus-kasus kebencian, termasuk pada kasus Muhammad Kece dan Yahya Waloni. Surat Edaran yang dikeluarkan pada masa kepemimpinan Jenderal Badrodin Haiti tersebut menekankan pemidanaan atas kebencian yang antara lain dalam bentuk hasutan dan provokasi.

Selain itu, KUHP yang ada saat ini sebenarnya sudah mengenal pasal hasutan, seperti pada pasal 160 KUHP. Juga pasal mengadu dengan memfitnah, sebagaimana Pasal 310 KUHP.

Keenam, berkaitan dengan hal tersebut, SETARA Institute juga mendesak pemerintah dan DPR yang sedang dalam proses melakukan revisi atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menghapus pasal-pasal penodaan agama dalam RKUHP. Sebagai gantinya, negara mesti merumuskan pidana hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime) berdasarkan sentimen keagamaan. Selebihnya, tidak kekurangan pakar dan akademisi hukum pidana untuk merumuskan element of crime dalam pidana hasutan dan kebencian atas dasar agama dan keagamaan.

Di samping itu, beberapa norma dan dokumen internasional bisa dijadikan dasar seperti Pasal 20 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah kita ratifikasi menjadi UU No 12 Tahun 2005. Selain itu, negara dapat merujuk pada dokumen Rabat Plan of Action yang disusun oleh Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa.

Ketujuh, SETARA Institute juga mendorong organisasi-organisasi keagamaan yang untuk memassifkan agenda-agenda untuk membangun imunitas dan resiliensi umat beragama dari paparan hasutan dan provokasi untuk membangun kebencian dan melakukan intoleransi, diskriminasi, dan persekusi atas kelompok keagamaan yang berbeda. Semakin pesatnya perkembangan dunia digital dan pemanfaatannya saat ini di masa pandemi turut memberikan ruang besar bagi hasutan dan provokasi kebencian berdasarkan agama.

Dalam konteks demikian, potensi hasutan dan provokasi kebencian tidak hanya bersumber dari saluran-saluran dan figur-figur dalam negeri, namun juga datang dari luar negeri. Oleh karena itu, kontribusi dan terobosan organisasi-organisasi keagamaan sangat diperlukan untuk mengembangkan keberagamaan yang rasional, toleran, dan damai dalam tata kebinekaan Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *