REVITALISASI MPR SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN YANG INKLUSIF

oleh
oleh

Oleh : Pontjo Sutowo

(Ketua Aliansi Kebangsaan)

Marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, dalam kedaruratan pandemi Covid-19 dan pemberlakuan PPMK, pada hari ini kita semua masih diberi kesehatan untuk mengikuti diskusi yang diselenggarakan bersama oleh MPR dan Aliansi Kebangsaan dengan topik bahasan sekitar “Revitalisasi Lembaga MPR”.

Tentu saya harus menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada Pimpinan MPR-RI yang telah berkenan memfasilitasi pelaksanaan diskusi yang amat penting ini. Bagi Aliansi Kebangsaan, diskusi ini merupakan ajang pengayaan dan penguatan gagasan/pikiran menjelang dilaksanakannya “Kongres Kebudayaan” pada tanggal 28 Oktober 2021 yang akan datang, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda.

Kongres Kebangsaan tersebut digagas oleh Aliansi Kebangsaan bersama-sama Pimpinan MPR, Forum Rektor Indonesia, kaum cendekiawan dari berbagai lintas profesi dan institusi, bekerjasama dengan golongan pengusaha dan masyarakat politik yang merasa terpanggil menjadikan krisis pandemi sebagai titik balik semangat kebangkitan untuk membangun peradaban bangsa Indonesia dengan paradigma Pancasila dalam tiga ranah kehidupan social.

Yaitu, Ranah Mental Kultural (Tata Nilai), Ranah Institusional Politikal (Tata Kelola), dan Ranah Material Teknologikal (Tata Sejahtera). Diskusi hari ini dengan topik “Revitalisasi Lembaga MPR” merupakan bagian dari pembangunan ranah institusi sosial-politik (tata kelola negara) yang akan dibahas dalam kongres tersebut.

Pembangunan ranah institusi sosial-politik diarahkan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Dengan dijiwai oleh sila keempat Pancasila ini maka tatanan sosial-politik yang hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi haruslah bercita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (negara kesejahteraan).

Untuk membangun tatanan sosial politik melalui mekanisme demokrasi seperti itu, maka mengupayakan pemberdayaan rakyat melalui pengembangan partisipasi segenap elemen bangsa dalam berbagai bidang pembangunan menjadi sangat mendasar. Terutama sekali bertitik tolak dari pengembangan partisipasi rakyat dalam, pertama Ketua Aliansi Kebangsaan/Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti/Ketua Umum FKPPI. Kedua, politik melalui perbaikan lembaga perwakilan dengan memperhatikan aspek keterwakilan (bukan hanya keterpilihan) serta keragaman kekuatan rakyat.

Prinsip yang mendasari hal itu berangkat dari dasar ontologis pendirian negara. Bahwa negara Indonesia yang dikehendaki adalah Negara Kekeluargaan yang bersifat inklusif yang harus memberi ruang bagi segala keragaman kekuatan rakyat, bukan negara perseorangan atau negara golongan (kelas). Dalam mengusung konsepsi Negara Kekeluargaan, dan sebagai implementasi semangat Pancasila, maka prinsip demokrasi kita adalah demokrasi permusyawaratan dan perwakilan.

Kehendak untuk mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945. Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu juga dengan Soepomo yang mengutarakan idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah “Badan Permusyawaratan”.

Prinsip demokrasi permusyawaratan tentu harus tercemin “dalam kerangka representasi dan modus pengambilan keputusan yang bersifat inklusif”. Dalam aspek representasi, perwujudan terpenting dari institusi permusyawaratan dalam demokrasi adalah keberadaan Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR).

Sebagai ekspresi dari demokrasi yang bersemangat kekeluargaan, Demokrasi Indonesia menganut konsepsi kedaulatan yang mengakui adanya lembaga permusyawaratan “terlengkap”, sebagai penjelmaan dari ekspresi kedaulatan rakyat (locus of sovereignty).

Sebagai lokus kedaulatan rakyat, MPR harus dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat menjadi wadah ekspresi seluruh kekuatan rakyat dan dapat mewakili segala unsur kekuatan kebangsaan. Lembaga perwakilan harus menjadi wadah penyemaian semangat kekeluargaan dan persatuan dari keberagaman (diversity) masyarakat bangsa Indonesia.

Sebagai pantulan semangat kekeluargaan dan penjelmaan dari kedaulatan rakyat terlengkap, MPR hendaknya tidak dikuasai oleh salah satu unsur kekuatan politik, melainkan harus bisa diakses oleh semua unsur. Hal ini dapat tercemin dari kemampuan untuk menampung perwakilan hak liberal-individual (perwakilan rakyat), perwakilan hak komunitarian (perwakilan golongan), dan perwakilan hak teritorial (perwakilan daerah).

Mendelegasikan kedaulatan rakyat hanya pada perwakilan kepartaian melalui DPR dinilai berisiko menjadikan kedaulatan rakyat bisa di bawah kendali kepentingan perseorangan dan/atau golongan kuat (the ruling class). Negara yang hendak mengatasi paham perseorangan dan golongan harus memberi peluang aliansi kelas dan aneka golongan dalam lembaga perwakilannya.

Pengakuan atas eksisitensi stiap kelompok/golongan masyarakat tanpa kecuali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam kehidupan politik sangatlah penting agar “kehendak untuk hidup bersama” dalam bangunan ke-Indonesia-an dari masyarakat yang majemuk terus dapat dijaga dan diperkuat (nation building).

Lembaga perwakilan kita dewasa ini, pada umumnya mewakili rakyat melalui partai politik, yang dalam literatur dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).

Keterwakilan rakyat dalam MPR yang dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945, terdiri atas perwakilan politik (political representation) yakni DPR RI dan perwakilan daerah (regional representation) yakni DPD RI.

Sekalipun azas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, akan tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuankesatuan politik semata-mata, telah mengabaikan kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada di dalam masyarakat. Pendapat kelompok masyarakat seperti ini, tentu bukan tanpa dasar.

Sebagai perbandingan, beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikutsertakan wakil dari golongan-golongan yang dianggap memerlukan perlindungan khusus. Misalnya, India mengangkat beberapa orang wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah. Sedangkan wakil dari beberapa kalangan kebudayaan, kesusasteraan dan pekerja sosial diangkat menjadi anggota majelis tinggi.

Merumuskan pilihan sistem ketatanegaraan yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang heterogen dan multikultur dalam rangka memperkuat peran Negara (statebuilding) tentu sangat penting. Namun, membangun bangsa (nation-building) juga sama pentingnya. Sejak awal berdirinya Republik ini, para pendiri bangsa menyadari sepenuhnya bahwa nation building merupakan agenda penting yang harus terus dibina dan ditumbuhkan.

Kebutuhan akan menguatnya kebangsaan (nation) dan kebutuhan akan hadirnya negara (state) haruslah hadir dalam satu tarikan nafas yang padu. Dan keterpaduan tersebut hanya biasa diwujudkan apabila bangsa ini memiliki “pokok-pokok haluan negara” yang ditetapkan oleh Lembaga Perwakilan terlengkap sebagai ekspresi kedaulatan rakyat.

Daren Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya: “Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty (2012)”, menengarai bahwa sebab pokok kegagalan suatu negara-bangsa bukan karena kurang adidaya atau sumberdaya, 4 melainkan karena salah urus atau salah desain kelembagaan dan tata-kelola pemerintahan. Kemajuan dan kemunduran suatu negara sangat ditentukan oleh desain institusi politik serta ekonominya.

Acemoglu dan Robinson mengemukakan tesis bahwa hanya dalam institusi politik yang inklusif sebuah bangsa akan mampu mencapai kemakmuran. “That only within an inclusive political system it is possible for nations to achieve prosperity”. Mereka berdua memisah institusi politik dan ekonomi ke dalam dua bentuk yaitu institusi politik-ekonomi inklusif dan institusi politik-ekonomi ekstraktif.

Secara sederhana, dalam intitusi politik dan ekonomi inklusif tidak hanya menguntungkan kaum elit namun juga memberikan kemakmuran kepada kaum bawah karena rakyat dapat secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik dan ekonomi. Institusi politik inklusif juga membuat kaum elit terkontrol dalam membuat wewenang/hukum serta norma di masyarakat sehingga terciptanya kehidupan masyarakat yang adil.

Dalam kerangka pengambilan keputusan, demokrasi permusyawatan seharusnya lebih mengedepankan konsensus dalam semangat kekeluargaan ketimbang suara terbanyak. Sesuai dengan milai-nilai Pancasila yang kita tempatkan sebagai “grund-norm” atau norma dasar, sepatutnyalah konsensus itu harus dibangun berdasarkan “cita hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan”, bukan konsensus “menang-menangan”, konsensus “akal-akalan”, apalagi “konsensus “adu otot”.

Mufakat harus diupayakan sebagai hasil dari permusyawaratan. Walaupun harus diakui, bahwa pada tingkat negara, mencapai keputusan dengan mufakat secara bulat bisa saja sulit dicapai dalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Oleh karena itu, tetap harus dimungkinkan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak. Cita “hikmat-kebijaksanaan” tentu tidak hanya menjadi dasar dalam kerangka pengambilan keputusan melalui musyawarah akan tetapi haruslah selalu hadir dan menjelma dalam kehidupan sosial-politik/demokrasi kita yang berdasarkan Pancasila.

Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan.

Dalam kaitan ini, Mohammad Hatta sebagaimana dikutip oleh Yudi Latif (2020) menjelaskan bahwa, “Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”

Orientasi etis (hikmat kebijaksanaan) ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang dapat menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang positif sekaligus dapat mencegah kekuasaan yang dikendalikan oleh golongan mayoritas dan golongan minoritas dari oligarki elit atau penguasa.

Dengan prinsip-prinsip sesuai dasar ontologis pendirian Negara seperti saya sampaikan tadi, tentu menjadi pertanyaan kita bersama, apakah Lembaga Perwakilan kita saat ini sudah merepresentasikan segenap komponen yang ada dalam masyarakat sebagai lembaga perwakilan yang inklusif?

Pertanyaan berikutnya apakah dalam modus pengambilan keputusan, Lembaga Perwakilan kita sudah mengembangkan “cita musyawarah untuk mufakat” yang didasari oleh “hikmat-kebijaksanaan” sebagaimana jiwa sila keempat Pancasila?

Untuk itulah kiranya dalam kesempatan diskusi hari ini kita bisa bertukar pikiran dan berbagi pendapat untuk mencari yang terbaik bagi bangsa dan Negara Indonesia tercinta. (Makalah ini disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo dalam FGD MPR di Media Center MPR/DPR/DPD RI, Lobi Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta, Senin 4 Oktober 2021).

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *