JAKARTA, REPORTER.ID- Untuk mencapai tempat perhelatan Seleksi Tilawatil Qur’an (STQ) Nasional XXVI di Sofifi, Pulau Tidore, Maluku Utara ternyata tak sederhana.
Penyeberangan ke tempat itu jadwalnya cukup padat dengan antrean yang panjang dari Pulau Ternate. Makanya rombongan Walikota Jakarta Timur Muhammad Anwar bersama Asisten Kesra Ahmad Salahuddin, Kabag Kesra H Muchtar dan Koordinator Baznas Bazis Jakarta Timur Eka menyempatkan berkunjung ke benteng bersejarah Fort Oranje (baca : Fort Oranye) dan Masjid Tua Kesultanan Ternate dari abad ke 17.
Benteng dengan tembok berkeliling setinggi 5 meter itu kelihatan kokoh. Namun warnanya sudah kusam.
Di luar benteng ada parit yang berpagar tembok pendek berwarna putih dan oranye yang memudar.
“Pak Walikota Anwar sepertinya memperhatikan hal itu,” kata Dwi Busara , Kepala Subbagian Dikmental Kesra Jakarta Timur, Selasa (19/10).
Berdasar tulisan pada papan informasi di lokasi bangunan cagar budaya tersebut, Dwi Busara yang gemar naik gunung dan bertualang itu mampu bercerita mendetail.
Dijelaskannya, benteng Oranje itu denahnya berbentuk trapesium, yang di setiap sudut ada bastionnya. Kompleks bangunan berumur lebih dari 300 tahun itu menempati lahan seluas 12.680 m2.
Tembok benteng tingginya 5 m tebal 1 m berpenampang kerucut terpancung dengan kemiringan 4° dari garis vertikal. Sedang tembok bagian dalam benteng tebalnya 0,75 m.
Di atas tembok benteng terdapat ‘rampart’ atau jalan keliling setinggi 3,5 m dari tanah atau sekitar 1,5 m dari puncak tembok.
Rampart tersebut menghubungkan keempat bastion yang ada di setiap sudut benteng, berfungsi untuk jalan dan mengintai musuh di luar benteng.
Benteng Oranje di Ternate ini menurut Dwi Busara jelas beda bentuknya dengan Benteng Van der Wijck di Gombong, Jawa Tengah yang juga peninggalan Belanda. Apalagi denah benteng ini berbentuk segi delapan yang dibangun pada zaman yang lebih muda yaitu tahun 1818.
Namun keduanya berlokasi sama sama di tengah kota yang mudah dijangkau wisatawan.
Koordinator Baznas Bazis Jakarta Timur Eka Nafisah membenarkan apa yang dijelaskan Dwi Busara.
“Kota Ternate kecil. Jalan lingkar kota seluruhnya hanya sekitar 45 km,” tambah Eka Nafisah Rabu (20/10).
Menurut Eka, Fort Oranje juga disebut Benteng Malayo atau Melayu karena dulunya benteng buatan Portugis itu ditempati orang orang Melayu.
Sejarah singkat Benteng Oranje tak lepas dari sejarah jalur rempah rempah antara Eropa dan Nusantara. Terbaca di papan informasi yang menyatakan bangunan itu didirikan tahun 1607 oleh Laksamana VOC bernama Cornelis Matelieff de Jonge. Tujuannya untuk membantu Sultan Ternate mengusir bangsa Spanyol dari Ternate.
Lokasinya sama dengan Benteng Malayo yang dibangun bangsa Portugis tersebut.
Sehubungan dengan itu Sultan juga memberi izin VOC melakukan monopoli perdagangan rempah rempah di wilayah Kesultanan Ternate.
Ketika pembangunannya selesai tahun 1609, benteng itu diubah namanya menjadi Benteng Oranje oleh Paulus van Carden, penguasa Belanda pertama di Maluku.
Waktu Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC yang pertama, Dewan Komisaris VOC di Negeri Belanda menetapkan kawasan Kepulauan Maluku menjadi pusat kedudukan resmi VOC. Dan Benteng Oranje menjadi pilihan tempat tinggal resmi para gubernur jendral VOC. Pieter Both dan beberapa gubernur jenderal setelahnya pernah tinggal di benteng ini.
Rombongan Walikota Jakarta Timur pada hari yang sama juga mengunjungi kedaton Sultan Ternate dan masjid tua.
Dari jauh tampak bentuk atap masjid model limasan tanpa ada kubah.
Mirip masjid masjid di seluruh Nusantara pada awal Islam abad 16 dan 17.
“Di masjid ini Pak Wali dan rombongan sempat solat duha,” kata Dwi Busara.
Diceritakan secara singkat sejarah masjid yang pernah dipugar bulan Oktober tahun 1983 itu.
Ada versi yang menyebut masjid yang juga dinamakan Sigi Lamo itu dibangun pada zaman Sultan Abidin sultan kedua yang memerintah Ternate tahun 1486 – 1500 M
Namun catatan setempat menjelaskan masjid tua itu dibangun pada tahun 1606 ketika pemerintahan Sultan Saidi Barakati.
Lokasi masjid hanya sekitar 100 meter sebelah tenggara kedaton Sultan Ternate. Posisi masjid ini terkait dengan peran penting tempat ibadah itu dalam kehidupan beragama di Kesultanan Ternate.
Sebab tradisi dan segala ritual keagamaan yang diselenggarakan Kesultanan Ternate selalu berpusat di masjid itu.
Mengenai keistimewaan bangunan ini disebutkan, terbuat dari susunan batu dengan bahan perekat dari campuran kulit kayu pohon kelumpang. Sementara arsitekturnya mengambil bentuk segi empat dengan atap berbentuk tumpang limas sehingga terlihat berundak undak.
Maluku umumnya maupun Maluku Utara yang meliputi pulau pulau Halmahera, Ternate dan Tidore memang banyak peninggalan sejarah kolonial, maupun sejarah kemerdekaan Indonesia.
Di Tidore ada kota Soa Siu yang pada periode perjuangan pengembalian Irian Barat atau Irian Jaya tahun 1956-1961 dijadikan ibukota provinsi paling timur Republik Indonesia.
Betul adanya moto semangat memelihara bangunan cagar budaya yang berbunyi :
Berdamai Dengan Masa Lalu, Membangun Kesadaran… sebagai bangsa yang berbudaya dan yang berbineka tunggal ika tentunya. (Suprihardjo).