Investasi Jadi Kendala Perlindungan Hukum Masyarakat Adat?

oleh

JAKARTA, REPORTER.ID – Perlindungan masyarakat adat berikut hak-haknya masih terkendala oleh aturan perundang-undangan, karena sampai saat ini RUU Hak Masyarakat Adat tersebut menghadapi jalan buntu, akibat tidak ada politicall will pemerintah maupun DPR RI. Apalagi, narasi yang dibangun selalu negatif. Misalnya dengan RUU ini maka UU Cipta Kerja tidak akan jalan, akan menghambat investasi dan lain-lain.

“Ada 7 fraksi di DPR mendukung, 2 fraksi menolak. Sedangkan Presiden Jokowi sudah menerbitkan Surpresnya, tapi belum ada daftar inventarisasi masalah (DIM) nya. Padahal kami dan Menteti LHK RI Siti Nurbaya sangat berkepentingan untuk melindungi eksistensi masyarakat adat dan hak-haknya,” tegas Ketua Panja RUU Masyarakat Hukum Adat ini.

Hal itu disampaikan Willy Aditya dalam forum legislasi “Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat” bersama Deputi Sekjen AMAN Erasmus Cahyadi dan pakar hukum adat Aartje Tehupeiory di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (23/11/2021).

Lebih lanjut Willy mengakui kalau pihaknya optimis ketika Presiden Jokowi pada 17 Agustus 2021 lalu ke DPR memakai baju adat Baduy. Tapi, ternyata meski Surpresnya turun, namun DIM nya tidak ada. “Jadi, RUU inisiatif DPR ini belum mendapat dukungan dari pemerintah dan DPR RI. Itu akibat narasi negatif yang dibangun oleh para pembisiknya,” ujarnya.

Karena itu, saat ini atas nama pembangunan, investasi lapangan kerja dan sebagainya masyarakat adat itu kehilangan hak-haknya. Mereka tidak tahu apa-apa, tapi tiba-tiba digusur karena dianggap menggunakan tanah negara. Dan, RUU ini tidak hanya mengatur hak atas tanah, juga hak atas sumber daya alam, hak atas hukum adatnya, kedaulatan untuk menjalankan kepercayaannya dan lain-lain.

Padahal kata Willy, masyarakat nusantara ini sudah ada sebelum Indonesia hadir atau merdeka. Memiliki 171 bahasa tapi kata Unesco setiap tahunnya 2 bahasa hilang, karena tidak dikonservasi. “Pelajaran bahasa daerah di sekolah pun gak ada lagi. Kalah dengan bahasa asing,” kata Willy kecewa.

Lalu bagamaina merawat semua itu, karena merawatnya ini merupakan modal dasar ke-Indonesiaan. Menurut Willy, kalau bahasa Jawa – nya adalah Merti, Merti itu, merawat, menjaga, memelihara, ini modal dasar yang fundamental dari kehadiran RUU ini. Pada 21 September lalu RUU ini sudah diplenokan, tapi sampai hari ini tidak jalan.

Erasmus Cahyadi mendukung untuk menyusun kerangka hukum baru untuk tata kelola dan mengakui hak adat dan wilayat, karena secara tak sadar hak-hak itu hilang. “Pengadilan tolak mengakui legalitas hak adat dan wilayat, karena memakai kerangka hukum yang sekarang. Perda pun tak cukup sehingga diperlukan UU tersendiri untuk.menjadi dasar hukum mereka di pengadilan,” ungkapnya.

Aartje Tehupeiory berpendapat untuk menggolkan RUU ini diperlukan strong political will pemerintah dan DPR RI. RUU ini penting mengingat masyarakat adat kehidupannya sangat tergantung pada pemanfaatan hutan di tengah maraknya mafia tanah sekarang ini.

“Mereka sudah lama hidup di hutan, tiba-tiba dibilang telah merampas tanah negara dan dikenai sanksi pidana pula. Sementara melestarikan masyarakat adat itu amanat konstitusi. Kalau digerogoti investasi, kesejahteraan dan perlindungan alam diabaikan, ini melanggar konstitusi,” ungkapnya.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *