PARADOKS BELANDA TENTANG INDONESIA

oleh
oleh

Oleh : Jenny Morin

Member of Numberi Center

 

Ada semacam kepercayaan dalam benak kebanyakan orang  Belanda bahwa kehilangan negeri Hindia  Belanda (Indonesia) adalah bencana tak tertanggungkan. Ini tergambar dalam ungkapan popular yang digaungkan oleh pers  Belanda pada awal dasawarsa 1940-an, yaitu “Indie verloren, ramspoed geboren – Hindia  Belanda hilang, kesengsaraan datang”.

Ungkapan ini didasarkan pada analisis Sandberg tahun 1914, pada suatu brosur yang menguraikan kolonial  Belanda menghadapi bahaya dari luar (internasional) dan akan kehilangan Hindia  Belanda, waktu itu judulnya: “Indisch verloren, ramsgoed geboren”.

Analisis Sandberg, kemudian dikembangkan dan dibukukan oleh wartawan  Belanda Frans Glissenaar dengan judul sedikit diubah : “Indie verloren, ramspoed geboren” (Verloren BV, Hilversum, 2003). Glissenaar menelaah pidato Ratu Wihelmina tanggal 7 Desember 1942 saat mengungsi di Inggris karena wilayah  Belanda di duduki Nazi Jerman.

Pada pidato tersebut Sang Ratu memuji rakyat tanah jajahan Hindia  Belanda (Ratu bahkan menyebutkan “Indonesia”) atas perannya dalam mempertahankan diri terhadap invasi Jepang. Ratu Wilhemina juga menjanjikan berupa bentuk pemerintahan baru bagi negeri-negeri jajahan setelah Perang Dunia II (PD II) berakhir. Beberapa minggu setelah PD II berakhir timbul kegelisahan pada rakyat  Belanda bagaimana mengatasi ekonomi yang hancur akibat perang.

Kegelisahan rakyat  Belanda bertambah karena menyaksikan adanya realitas bahwa dekolisasi sedang terjadi diseluruh dunia, Hindia  Belanda juga tidak luput dari proses ini, dimana tanah jajahan kesayangannya (Indonesia), juga sedang dilanda arus dekolonisasi dan akan memerdekakan diri sebagai Republik Indonesia.

Ketakutan rakyat  Belanda berlebihan, karena kehancuran ekonomi  Belanda setelah PD II dapat dibangun kembali berkat Marshall Plan (H.W. Van Den Doel, Afscheid van Indië, Amsterdam 2001:hal.383).

Disisi lain masyarakat   Belanda juga mengritik bahwa Republik Indonesia buatan Sukarno yang selalu dituduh sebagai “kolaborator Jepang” dan pemerintahannya “semrawut” tak becus mengurus dirinya dan gagap memelihara perdamaian dalam negeri sendiri.

 Namun ternyata Sukarno dengan kepiawaian yang ada serta penguasaan perpolitikan di Indonesia dapat mempersatukan semua elemen bangsa termasuk partai politik yang ada saat itu, dan berhasil mengusir  Belanda keluar dari Indonesia setelah KMB 1949.

Bagi kebanyakan rakyat   Belanda, Indonesia adalah “rumah” mereka namun “rumah” ini harus ditinggalkan setelah 350 tahun berada di rumah ini dan  Belanda kehilangan Hindia  Belanda untuk selamanya.

 

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *