JAKARTA, REPORTER.ID – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Kementerian Agama (Kemenag) RI memperketat pemberian izin pendirian dan penyelenggaraan pendidikan. Baik yang berbasis agama maupun non agama, dan baik yang berasrama maupun yang tidak berasrama.
“Kasus asusila terhadap 21 santriwati di Bandung, Jawa Barat ini sebagai bukti lemahnya kontrol dan mudahnya memberikan izin penyelenggaraan pendidikan. Jadi, izin dan kontrol itu harus diperketat sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku,” tegas Hidayat Nur Wahid.
Demikian disampaikan Hidayat Nur Wahid (HNW) dalam diskusi 4 Pilar MPR RI “Keperpihakan Negara terhadap Masa Depan Anak” bersama Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni dan Komisioner KPAI Retno Listyarti di Gedung MPR RI, Senayan Jakarta, Senin (13/12/2021).
Lebih lanjut HNW menilai pelaku asusila tersebut harus dikebiri atau hukum mati. Sebab, tindakan asusila tersebut membuat anak-anak kehilangan kehormatan sekaligus kehilangan masa depannya. Apalagi amamat konstitusi pasal 28 dan pasal 31 UUD NRI 1945 bahwa negara harus melindungi HAM dan di dalam HAM itu diantaranya negara harus mememuhi perlindungan pada anak-anak. Seperti pendidikan, kesehatan, dan masa depannya.
Yang lebih penting lagi kata HNW bagaimana negara memberikan perlindungan dan pendampingan terhadap korban, agar tidak kehilangan masa depannya. “Ancaman sanksi bagi pelaku kejahatan seksual anak itu juga harus disosialisasikan agar masyarakat tahu terhadap sanksi hukum yang akan dijatuhkan,” ungkapnya.
Selain itu HNW minta status, kewenangan dan anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ditingkatkan. Anggaran Rp300-an miliar, sementara korban kejahatan seksual itu 60 persen adalah anak-anak. “Dengan anggaran itu mana mungkin Kementerian PPPA mampu melakukan sosialisasi dan pemberdayaan di tengah darurat kejahatan seksual anak sekarang ini,” kata HNW.
Sementara itu Sylviana Murni mengatakan pentingnya pendidikan dan keterbukaan di dalam keluarga. “Kalau orangtua memberikan pendidikan, komunikasi, dan demokrasi yang baik di dalam keluarga, termasuk terhadap hal-hal yang diharamkam, insyaAllah anak-anak akan kuat. Sehingga tidak terpengaruh oleh segala sesuatu yang diharamkan. Misalnya jangan sampai tersentuh tubuhmu oleh orang lain kecuali oleh suami atau istrimu,” jelasnya.
Khusus untuk kasus kejahatan seksual ini kata Sylviana, pentingnya sosialisasi 4 pilar MPR terus digalakkan dan kerjasama – kolaborasi semua pemangku kepentingan, karena tidak mungkin pemerintah menangani sendirian. “Juga pendidikan di dalam dan luar sekolah harus singkron. Jangan sampai berseberangan,” katanya.
Yang pasti menurut Retno kasus kekerasan seksual pada anak itu trendnya makin meningkat. Khususnya dilakukan oleh guru olahraga dan guru agama. “Di tahun 2018 – 2019 ini kasus terbesar adalah perundungan, kejahatan seksual dan intoleransi pada anak-anak. Baik di sekolah berasrama maupun yang tidak berasrama,” tambahnya.
Terakhir kejahatan seksual itu melalui dunia maya. Pelaku meminta anak-anak buka jilbab sampai telanjang, dan melalui game online Game Online Free Fire, saling tukar nomor sampai anak-anak itu terjerat dengan berbagai iming-iming yang ditawarkan pelaku,” jelas Retno.