Kritik Survei Kepuasan Terhadap Kinerja Jokowi Tidak Apple To Apple

oleh

Kritik Survei Kepuasan Terhadap Kinerja Jokowi Tidak Apple To Apple

Oleh Emrus Sihombing

ADA beberapa kalangan seakan mempertanyakan berita hasil survei soal kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi-Ma’ruf di tengah wacana beberapa persoalan kesejahteraan ekonomi rakyat, salah satu di antaranya, keluarnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 terkait pencairan jaminan hari tua (JHT) di usia 56 tahun yang banyak pihak (termasuk saya) menilai dapat merugikan pekerja/buruh dan langkanya minyak goreng di pasar.

Bahkan ada dua pemikir negeri ini, sesama teman saya di ruang publik, yaitu RamliRizal (RR) dan Ujang Komarudin (UK) ikut memberi komentar terhadap berita hasil survei tersebut. Menurut hemat saya, pendapat mereka sangat-sangat subyektif. Mengapa Subyektif?

Sebuah media online mengutip komentar yang sangat subyektif dari pemilik akun @RamliRizal (RR) terkait hasil survey Litbang Kompas tentang kepuasan terhadap kinerja Jokowi-Ma’ruf menyebutkan antara lain “Kepuasan group Kompas ! bukan kepuasan rakyat. Keren ya Kompas gombalannya”.

Pendapat RR di atas, suatu bukti pandangan tersebut sangat subyektif dan emosional. Sejatinya, sebagai seorang pemikir dan tidak asing lagi di ruang publik, ia harus mengedepankan diskusi akademik dengan membahas metodologi yang digunakan dan sekaligus menyajikan hasil survei “tandingan”. Tentu wajib didahului penjelasan proses metodologi yang digunakan. Selain itu, RR tampak emosional dengan mengemukakan diksi “gombalannya” dalam rangkaian narasinya terhadap media tertentu. Tentu ini sangat kurang pantas (etis) terlontar dalam suatu wacana publik.

Senada tingkat subyektifnya, media online yang tidak sama, UK mempertanyakan pemberitaan hasil survei tentang kinerja Jokowi-Ma’ruf yang meningkat di tengah ekonomi belum stabil. UK merasa aneh bisa tingkat kepuasan meningkat.

Sejatinya keanehan tersebut harus diuaraikan UK berdasarkan pendekatan yang sama yang digunakan pelaku survei tersebut dan sekaligus juga menyajikan hasil jajak pendapat dengan variabel, populasi dan teknik sampling yang sama.

Berdasarkan pandangan RR maupun UK yang memberikan penilaian terhadap hasil survei tersebut, dari segi akademik, mereka berdua telah menggunakan penilaian dengan pendekatan subyektif. Padahal, kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi-Ma’ruf menggunakan perspektif objektif dengan metode survei . Sementara RR dan UK menilainya dari perspektif subyektif. Jadi, sangat tidak apple to apple.

Dengan kata lain, hasil survei tersebut dan pandangan RR dan UK berada di paradigma yang berbeda. Survei itu, berada di rana objektif, yaitu memotret keadaan sosial dan atau opini publik pada saat dilakukan survei. Karena itu, ketika hasil survei dipublikasikan, bisa saja persepsi pubik sudah berubah (cair), mungkin sudah menurun (negatif) atau trend meningkat (positif).

Namun, saya bisa memahami posisi RR dan UK. Dua tokoh ini, sebagai representasi sejumlah aktor lainnya (baik sebagai individu atau organisasi sosial) yang meposisikan diri selalu sebagai oposisi. Tentu ini saya pastikan punya “kepentingan” politik praktis. Menurut saya, mereka acapkali berada sebagai pengamat dan pemberi komentar anti tesis dari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Oleh sebab itu, pandangan mereka bisa kita pahami dari dua sisi. Sisi pertama, sebagai energi dan atau koreksi bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf serta kabinetnya untuk melakukan koreksi diri dan perbaikan agar lebih memusatkan kebijakan dan program kesejahteraan sungguh pro rakyat. Tidak boleh terjadi lagi ada pengaturan JHT yang tidak berorientasi pada kebutuhan pekerja/buruh, sebagai contoh.

Sisi kedua, mereka berperan sebagai “oposisi” tidak produktif. Ketika para “oposisi” memerankan sebagai kelompok yang selalu sepakat untuk tidak sepakat dengan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, ini menjadi persoalan tersendiri. Bisa saja mereka menggunakan kemampuan intelektual dan sajian fakta, data, bukti dan bangunan argumentasi yang sudah di-framing sedemikian rupa. Sisi kedua ini harus ditangani dengan manajemen komunikasi publik pemerintah yang profesional.

Kritik dan argumentasi dibangun atas dasar subyektif dengan dengan memilih fakta, data, informasi dan bukti yang menguntungkan pihaknya, lalu dilontarkan ke ruang publik. Menurut hemat saya, framing semacam ini acapkali terlontar di ruang publik di negeri ini. Tujuannya jelas, memanipulasi persepsi masyarakat di ruang publik. Ini sangat disayangkan.

Dalam realitas politik di berbagai negara, tak terkecuali di negeri ini, bagi aktor politik, baik sebagai kelompok maupun individu, “oposisi” semacam ini bisa saja ditarik oleh rezim yang sedang berkuasa sebagai bagian dari pemerintah untuk tujuan “mengendalikan”. Sejumlah nama ada di pemerinahan, yang sebelumnya mereka menempatkan diri sebagai “oposisi”. Atau “oposisi” tersebut bagian tak terpisahkan dari perjuangan politik sehingga mereka masuk kekuasaan pada rezim pemerintahan berikutnya.

Sedangkan sosok yang acapkali memberikan pandangan objektif capaian/keberhasilan rezim yang berkuasa, belum tentu atau tidak jaminan masuk sebagai bagian dari rezim yang sedang berkuasa. Kemungkinannya ada dua. Pertama, rezim yang berkuasa “menikmatinya” saja. Kedua, si sosok belum atau tidak tertarik kekuasaan pragmatis.

Untuk menangani sisi kedua tersebut di atas, saya sebagai komunikolog Indonesia yang mempunyai otoritas kelimuan bidang ilmu komunikiasi, menyarankan kepada Presiden Joko Widodo, agar manajemen komunikasi publik pemerintah harus dilakukan dengan perencanaan yang baik, masif, terstruktur, sistematis, terkoordinasi, dan dilakukan evaluasi program komunikasi pada setiap rentang waktu tertentu, serta termonitoring.

Untuk mencapai hal tersebut, perlu dibentuk Unit Kerja Manajemen Komunikasi Publik Pemerintah dipimpin seorang komunikolog handal yang sudah tidak asing lagi di ruang publik. Unit kerja ini harus langsung di bawah Presiden, jangan di bawah koordinasi Wakil Presiden, apalagi menjadi bagian tugas dari menteri atau setingkat menteri.

Penulis:
DR. Emrus Sihombing adalah Komunikolog Indonesia